Jumat, 15 Juli 2016

Mengalahkan Kecerdasan Seorang Wanita

Entah kenapa obrolan sore bersama seorang kawan membuat jariku ingin mengelus laptop. WIDAAA, KAMU KUSEBUT LHOO.. *lalu aku dilindes motornya agar bungkam* wkwkwkwk

Riset menyatakan kecerdasan anak diturunkan sekitar 75% dari ibunya dan 25% dari ayahnya. Mendengar hasil riset, harusnya pria lajang berlomba-lomba mencari wanita single cerdas.
Tapi nyatanya wanita cerdas disegani, bahkan ditakuti. Apalagi yang gelarnya sepanjang coki-coki, sekolahnya setinggi langit di angkasa. Meskipun tak bertitel bukan berarti tak cerdas. Mamaku contohnya, gadis lulusan SMA yang mengabdikan dirinya untuk keluarga. Kan nggak mungkin kakakku, si juara bertahan dari SD sampai kuliah, mengambil DNA tetangga atau ibu-ibu yang numpang lewat depan rumah. Jadinya ntar FTV Anakku Bukan Anakmu. Eh? wkwkwk

Aku sering kok diganggu, sampai dibully kaum adam, karena dia merasa "senior". Biasanya setelah tau aku anak pasca, dia bungkam. MAS, NGGAK TAU AKU ANAK SIAPA HAH??? uwuwuwuw.
Padahal kan niatku jujur. Aku anaknya ga sombong kok, serta suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Eh, malah sononya yang kayak ganti kebully. wkwkwk.

Selain perkara gengsi, ada juga pria yang segan ngibulin wanita cerdas. Lho, cari partner sehidup semetong, apa nyari "calon korban penipuan" sih? mwahaha.
Aku jadi ingat kajian pranikah beberapa minggu lalu. Garis besarnya adalah kita perlu menentukan tujuan kita dalam mencari pasangan, apakah mencari yang cocok dengan diri kita.., atau mencari seseorang yang dapat menjadi ayah (ibu) anak-anak kita kelak.
Maksudnya, kita diajak menjadi visioner. Kita membayangkan versi yunior dari seseorang -yang jadi target kita- dengan segala sifatnya yang melekat di dirinya. Sifat anak kan pasti didapatkan dari orang tua. Nah, bayangin mbesok anak kita kayak apa kalo sifat orang tersebut menurun. Kupikir, ini juga perkara kecerdasan.
Bedanya dimana? Ya kalau para pria mementingkan gengsi ya harus cari yang wanita yang level kecerdasan di bawahnya. Kan biar cocok sama maunya.
Kalau pria tersebut mampu berpikir visioner, ya pasti cari wanita yang -kalo bisa- lebih cerdas daripada dia. Untuk Indonesia yang lebih cerdas, mas~ uwuwuwuw~


Terus, menyoroti perkara gengsi.. Pria takut kalah debat? Itu mau lomba apa nikah sih? hahaha.
Takut dikudeta? Buset dah, kecerdasan ada 3 lho. Intelektual, emosional, spiritual. Seseorang dengan kecerdasan emosional dan spiritual tinggi tak mungkin menyakiti orang lain memakai intelektualnya.
Takut ga bisa naklukin? Setiap wanita punya perasaan yang bisa kamu kuasai dulu, sebelum menundukkan dia, secerdas atau sehebat apapun ia. Eaaa..


Dari tempat legalisir ijazah dengan cinta,

anak manis

Senin, 04 Juli 2016

Harusnya Tak Berakhir

Bagiku Ramadhan itu [harusnya] tak berakhir dalam 2 hari. Karena kalau di-cut-off begitu, kebaikan super yang kita usahakan [inshaallah] sepenuh hati dan totalitas di dalam bulan ini akan menurun atau tiada di bulan-bulan selanjutnya. Bulan Ramadhan itu masaku untuk belajar. Bulan-bulan selanjutnyalah yang merupakan ujian. [Kurasa] Bodohlah aku di depan Tuhanku jika aku melupakan pelajaran sabar dan ikhlas di keseharian, hanya karena hari itu bukan termasuk bulan Ramadhan.




Fajar di tanah kelahiran,

mahlukNya yang mencoba mengurai huru hara pikiran dan haru biru perasaan.

Minggu, 03 Juli 2016

Nge-DOTS Dulu Yuk~

NgeDOTS? Mentang-mentang lagi jadi aunty penuh waktu, kamu bawa-bawa istilah bayi, Laa??

Hehe.. Bukan. DOTS yang kumaksudkan adalah judul drama Korea ngehits tahun 2015: Descendants of the Sun. Harap maklum, saking sibuknya hamba, seluruh episode baru selesai ditonton pada 2016. Meskipun begitu, postingan ini bukan untuk ngeri, eh, ngereview jalan ceritanya.

Ada satu adegan yang bikin aku terkesan dan menyadari sesuatu.
Yang mana hayoo?
Bukan yang berdua-duaan, bukan juga yang waktu tembak-tembakan.
Tapiii.., pas mbak dokter Korea nolong si mas mafia Amerika.

Saat itu mbak dokter dihadapkan pada pilihan membiarkan musuh meninggal karena menurutnya membiarkannya meninggal akan menyelamatkan banyak nyawa yang lainnya.., atau menolongnya atas dasar rasa kemanusiaan. Di saat dia bambang, eh bimbang.. mas tentara sang gebetan mengingatkan kalo si mbak dokter harus menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, dokter ya menyelamatkan nyawa tak peduli siapapun itu. Tanpa mas tentara ngomong pun, hal tersebut sudah ada di sumpah profesi.

Oke, masuk ke pemahaman kemana-mana ala aku..
Dokter punya sumpah sebagai berikut:

SAYA BERSUMPAH BAHWA :
  • Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan.
  • Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
  • Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
  • Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan dan keilmuan saya sebagai dokter.
  • Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien.
  • Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian, atau Kedudukan Sosial, dalam menunaikan kewajiban saya terhadap penderita.
  • Saya akan memberikan kepada Guru-Guru saya, Penghormatan dan Pernyataan Terima Kasih yang selayaknya.
  • Saya akan memperlakukan Teman Sejawat saya sebagai saudara kandung.
  • Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
  • Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Perikemanusiaan, sekalipun saya diancam.
  • Saya ikrarkan Sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Pertanyaanku adalah, apakah kita perlu menunggu mencapai posisi tertentu atau diakui memiliki profesi tertentu, baru bersumpah yang baik-baik?
Bagaimana dengan "profesi" kita sebagai manusia? Menurutku itu profesi inti yang dipikul setiap orang, begitu ia lahir di dunia. Sering dari kita merasa bukan siapa-siapa padahal sudah jelas kalau kita punya jabatan otomatis sebagai manusia, Lucunya, orang mencari kesana kemari untuk sebuah pengakuan, dan pada akhirnya merasa segalanya pada saat seharusnya ia makin merasa bukan siapa-siapa. Bertolak belakang dengan ilmu padi, kan? :)
Adegan dari drama Korea itu membuka satu kesadaran terdalamku (saat ini). Bahwa kita seharusnya tak perlu menunggu jadi siapapun atau apapun itu untuk berbuat kebaikan. Pasti ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk dunia. Mau contoh?

Dari sumpah
  • Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan dan keilmuan saya sebagai dokter.
kita sebagai manusia yang bukan dokter juga dapat melakukannya dengan cara simpel: menjaga rahasia orang lain, menjauhi pergunjingan dan menjaga martabat orang lain, siapapun itu, tanpa memperdulikan ada tidaknya kepentingan.

Dari sumpah
  • Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian, atau Kedudukan Sosial, dalam menunaikan kewajiban saya terhadap penderita.
kita sebagai manusia yang bukan dokter juga dapat melakukannya dengan cara: membantu siapapun itu untuk bertujuan meringankan bebannya, bukan karena pencitraan, ingin imbalan, atau karena ia "cocok" atau hutang budi.

Pemahaman lebih jauh dariku adalah aku sebagai manusia sudah diberi kelebihan tertentu oleh Tuhan. Tuhan percaya padaku, bahwa menitipkan segala kemampuan itu untuk digunakan dalam kebaikan. Aku tidak mau mengkhianati kepercayaanNya, titipanNya yang tak kubawa ke alam kubur ini, jadi ya dimanfaatkan untuk pengabdian kepada sesama ciptaanNya.
Kesimpulannya, MENGABDI TAK HARUS PUNYA GELAR PROFESI [dari manusia], kan? :)







Senin, 20 Juni 2016

Mengalah Bukan Berarti Kalah

Hari ini...
saat aku lelah mencari responden penelitianku,
aku duduk di deretan kursi belakang. Sepi, tapi cukup strategis untuk mengamati segala sesuatunya dalam diam.
Di deretan sebelah, tiba-tiba seorang ibu menyapaku.
Batinku, "Wah cerita apalagi kali ini?"
Aku sudah terbiasa mendengar keluhan sampai sesumbar akhir-akhir ini, pertanda telingaku bukan sekedar tempat melekatnya earphone atau bergelayutnya si anting.
Aku sudah terbiasa pula diwawancarai. Ya, peneliti yang dikepoin sama respondennya. Metode penelitian, justifikasi sembarang kalir yang pernah kupresentasikan kala ujian proposal itu kuulang lagi di depan orang asing. Status pendidikan sampai nasihat pra nikah juga tak luput jadi bahasan. Hahaha..

Kali ini, ibu yang menyapaku mulai menduga aku berasal dari Direktorat Jenderal Pajak. Aku tersenyum, menggeleng. Aku biasanya sungkan menyebut kepascasarjanaanku, jadi kubilang saja nama universitasku dan prodi umum: akuntansi. Aku ditanya semester berapa, kukatakan saja empat. Kalau ibu itu jeli, tentunya sudah menduga ada yang aneh.. Hehe.. Tapi ternyata tidak!

Mata ibu itu berkaca-kaca. Dia menceritakan putrinya yang tidak kunjung diterima di universitas negeri sebagai mahasiswi.

Aku tanyakan mengapa tidak kuliah di universitas swasta. Sang anak hanya ingin masuk di sekolah negeri.

Aku tanyakan mengapa tidak ambil jalur mandiri di universitas negeri. Sang anak tidak ingin memberatkan orang tuanya. Katanya, lebih baik bekerja daripada harus membebani orang tuanya yang buruh tani. Bendungan air mata si ibu sudah hampir jebol. Kata-kata "buruh tani" diucapkan dengan terisak.

PLAK!

Aku ditampar.
Aku sudah mencicipi hampir 4 tahun kuliah strata satu, lalu hampir 2 tahun di strata dua. Sebesar apapun rintangan yang kuhadapi selama kuliah dan penelitian, aku tak pantas mengeluh. Masih banyak yang kurang beruntung tak bisa merasakan tantangan yang kadang kukeluhkan.
Mereka ingin tapi tak bisa.
Aku bisa tapi masih ada aja yang diomelkan.
Hey, tantangan itu nikmat ternyata!

Ketika kembali dari lamunanku, aku segera berkata, "Bu, kenapa putrinya tidak berwirausaha saja? Tidak mampu duduk di bangku kuliah belum tentu tidak mampu menciptakan pekerjaan sendiri, kan?"

Si ibu mengangguk setuju. Di saat yang bersamaan, temannya datang dan mengajak si ibu pulang. Aku disalaminya dengan wajah sedikit lega.
Gantian aku yang agak nggak lega. Kepikiran sampai kutuliskan di sini. Bagiku, curhatan ibu itu adalah cara Tuhan mengingatkanku tentang mata kuliah "bersyukur", "berjuang", dan "mengalah".

Mengalah?
Ya, mengalah untuk orang yang kita sayangi bukan berarti kita kalah. Justru itu adalah kemenangan melawan ego dan kebodohan emosional. :)



Dari tempat penelitian dengan cinta,

anak manis

Minggu, 19 Juni 2016

Jari Menari

Menulis dan mempublikasikannya...
..adalah salah satu caraku melepaskan sesuatu yang jalan-jalan di dalam kepalaku, agar ia berlari keliling dunia.
..adalah salah satu cara mengabadikan sesuatu yang kasat mata, yang terbuat dari perasaan dan pemikiran.
..adalah salah satu memperkenalkan diriku kepada dunia, karena menurutku mengenal seseorang tak cukup dari kehadiran secara fisik, namun substansiku juga perlu diketahui bagi mereka yang peduli padaku. Namun, ide tanpa perwujudan juga kuanggap tak utuh.
..adalah caraku mengungkapkan dengan mendalam, daripada melihatku sedih atau tertawa, bahkan saat mulutku terkunci. Biar jariku yang bergerak. Namun, yang terdalam masih ada di hati. Tulisan hanya penawar untuk yang teracuni, penenang untuk yang bergejolak.
..adalah latihan keberanian dan tanggung jawab. Layaknya saat berbicara, ideku belum tentu diterima, dimengerti, sebaik apapun niatnya. Berbicara lewat tulisan pun harus diniatkan tak menyakiti dan diungkapkan seelegan mungkin.
..adalah latihan mengerti tulisan orang lain. Tak perlu mengusik yang galau, tak usah menghina yang berbeda, tak usah berprasangka yang aneh-aneh. Kalau aku tak ingin dikomentari yang menyakitkan, ya jangan membegitukan orang lain. Aturan yang kusepakati dengan diriku sih begitu, walau kadang masih sering "mirroring". Dasar melankolis! :))
..adalah caraku berpikir ulang. Emosi yang dituliskan itu lebih lambat daripada yang terucap. Dengan menulis, kadang membuatku berpikir dua kali. Tidak jadi diposting? Oh sering! Lebih baik tidak jadi, daripada terlanjur dan menghapus. Wanita pun belajar bersikap kesatria, walau lebih mementingkan perasaan daripada logika.
Akhir kata, sebagian duniaku ada di tulisanku. Selamat menonton tarian jariku. Tapi ingat, ini cuma pecahan diriku. :)

Jadi, kamu sudah menulis apa hari ini?

Senin, 13 Juni 2016

Ngepoin Diri Sendiri

Menghirup udara malam, kuberusaha mengusir keterdesakan.
Terdesak rindu, namun tak berpenghubung. Oh Tuhan, syukurlah aku masih punya cinta.
Terdesak kewajiban, namun waktuku terbatas. Syukurlah, aku punya rasa tanggung jawab.

Tapi, tunggu.. Kenapa aku merasa terdesak? Apakah aku sedang tak bahagia?
Bahagiaku sepertinya dimakan kekhawatiran.
Khawatir tak dicintai, mungkin.
Khawatir tak menyelesaikan kewajiban dengan baik, mungkin.

Kenapa aku khawatir?
Apakah keikhlasan di dalam diriku sedang anjlok?
Karena aku takut ketidakpastian dan efek remuk redam saat menghadapi hal terburuk?
Karena aku takut rencanaku tak indah lagi saat realisasi?

Karena ikhlas menerima tak semudah ikhlas saat memberi, kawan. Ikhlas menghadapi ketidakpastian. :)

(Sebuah contoh mencari sumber galau, semoga aku menuliskannya dengan elegan. Hehe..)

Sabtu, 28 Mei 2016

Antri di Kasir

Sebuah cerita kemana-mana ala aku bab sekian..
Jadi, ceritanya.. sore ini dengan tidak bijaksananya aku memutuskan belanja bulanan pas akhir pekan. Biasanya menghindari hari libur atau tanggal-tanggal gajian karena yaaa..antrinya di kasir itu kadang lebih lama daripada upacara bendera hari Senin. Cuma bedanya, di supermarket masih ada AC. Kulit ndak menghitam, kecantikanku tak berkurang. *okay La, okay*

Pertama kali memilih antrian, apa sih yang kamu perhatikan?
Yang paling sedikit orangnya dan belanjaannya kan?
Tapi ternyata, penampilan bisa menipu lho. Nasib ndak bisa diprediksi emang. Contohnya, bawa sekaleng susu, ternyata si ibu cuma scan sebiji, mau ambilnya berkerdus-kerdus. Bayarnya ga pakek credit card lagi. Diskonnya masih dihitung pakek kalkulator yang biasa dipake pedagang pasar, di depan kasirnya. Dugaanku hal itu dilakukan untuk menentukan banyaknya unit yang dibeli, ala akuntansi manajemen atau operational research. Bayangin!

Begitu aku tunggu 15 menit ga kelar-kelar dan mas kasirnya sepertinya terlena dengan obrolan akrab (iya iya si ibu adalah ratu, kan belanjanya jutaan rupiah), aku mulai tidak sabar dan memutuskan ambil antrian yang lain. Apalagi si ibu tidak sedikitpun mencoba akrab, menyesal atau minimal senyum kek, malah memandangiku dengan curiga. Dan aku dipantatin. Oke, baiklah Yang Mulia Ratu. Lanjutkan mborongmu. Mungkin tatapanku terlalu tajam menganalisis tingkah laku si ibu dan kasir.

Lalu di antrian lain, perasaanku mulai enakan. Maunya stay di situ karena aku lihat ada suster yang tadinya sibuk memilih roti saat aku mulai antri di belakang Sang Ratu, kini terdepan dalam prestasi, eh antrian mbayar. Prediksiku, mas kasir yang ini pasti semacam suami siaga: cepat dan tanggap. Lah, ternyata antrian di sebelah lebih menggoda, karena lebih sedikit orang walaupun dengan banyak belanjaan. Sekalian banyak, scan scan bahagia, bayar, struk keluar, kelar! Ganti pelanggan yang lain.. Mikirku gitu sih.

Setelah pindah antrian kedua kalinya, ironisnya sang Ratu di antrianku mula-mula telah selesai menghitung dan lenyap. Dan antrian yang kutinggalkan, kini maju pesat. Aku? ngesot. Ditambah ada tragedi struk macet. Aku nggak bisa diginiin~ Daripada mas kasirnya sebel dan mamam mesinnya, jadi kurelakan saja pergi berlalu tanpa struk. Dadah, mas~ *lah*

REFLEKSINYA...
Antri di kasir itu proses.
Kasirnya yang banyak adalah pencerminan pilihan dalam hidup. Jalannya.
Pintu keluar adalah cermin dari tujuan hidup: ujungnya sama meskipun menempuh berbagai jalan.
Sikap kita saat antri, mau merengut, mau tetap nyengir walau sebel, mau tawuran sama yang antri di depan kita adalah menunjukkan siapa kita, apa yang kita dapat sesungguhnya dari proses itu. Tujuan sama, tapi sikap bisa beda.

MAU YANG LEBIH TARAKDUNGCES?

Kita sama-sama bakal mati, tapi tidak semuanya dapat menikmati hidup. J

Kemana-mana banget kan? Ya nggak paham, diiyain aja biar cepet. Salahnya lihat-lihat kemari. Bwek~ :p

Sabtu, 21 Mei 2016

Mengerdilkan Keakuan

Kata seseorang, seorang guru bukanlah guru jika tak ada orang lain yang mengakuinya sebagai guru.
Dengan kata lain, seseorang tak dapat mengakui dirinya sendiri sebagai seorang guru, tanpa hadirnya seorang atau beberapa orang murid. Mengapa ia dapat diakui sebagai seorang guru? Menurutku, karena ia berhasil membagi ilmu, memotivasi orang lain, sampai menginternalisasikan ajarannya di hidup seseorang yang mengaku muridnya. :)

Kataku, seorang pecinta bukanlah pecinta jika ia tak mulai membagikan kasih sayang. Aku disebut sebagai kesayangan untuk sesuatu di komunitas. Aku tak merasa demikian. Setauku, aku hanya menyayangi. Selama ini hanya berusaha menyayangi. Disayangi atau tidak, itu hak orang lain. Disayangi balik, alhamdulillah. Tidak disayangi, juga alhamdulillah. Setauku, aku tidak melakukannya demi sebuah pengakuan “Aku. Aku. Aku.”

Kubalik perspektifku. Kupandang orang lain dari caraku memperlakukan orang lain.
Semakin ia merasa kecil, padahal yang ia lakukan besar sekali energi positifnya. semakin ia mulia di mataku. 
Sebaliknya, semakin ia merasa “aku aku aku” dengan tingkat kesombongan yang signifikan, semakin ia kerdil di mataku.

Kerendahan hati bukanlah kerendahan diri. Kerendahan hati bukan pula kesombongan terselubung, merendah-merendahkan diri untuk menjatuhkan lawan. Bukannn..
Kerendahan hati itu, versiku, merupakan keyakinan diri bahwa ia butiran debu di dunia karena kesadaran bahwa ia “maya” dan sementara, dan melihat keagungan Tuhan dari segala yang Ia ciptakan, dengan memelihara segala sangkaan baik. Ia paham ia memiliki kasih sayang, dipinjami energi dariNya, jadi ia akan menyayangi Ia dan ciptaanNya dengan niatan baik dan cara yang baik pula.

Omongan abot bab sekian,
reaksi yang ditulis dengan penuh kasih sayang pula,


anak manis.

Minggu, 15 Mei 2016

Kau Mencintaiku dengan Istimewa

Entahlah, perasaan apa ini.
Dari sekian perasaan aneh, bagai dinosaurus (bukan kupu-kupu biasa) terbang di rongga perutku, kali ini aku tak berusaha mengenyahkannya. Hihihi.
Hanya saja kali ini, aku membalik perspektifku, mungkin saja peningkatan atas kesadaranku.. bahwa segala rasa atau kejadian yang datang adalah jalan yang mendekatkan aku pada penciptaku.
Khilafku dulu, aku baru mengingat Tuhan saat ada momen tertentu, misal jatuh cinta atau jelang ujian. Duh, maaf Tuhan.. Aku meng-intervening-kan Engkau.
Maaf maafkan aku...
Aku baru memohon lebih daripada biasanya, menyebut namaMu lebih sering daripada biasanya, karena aku ada maunya. Huhuu..

Sekarang, kusadari segala urusan duniakulah yang menjadi alat atau cara untuk lebih mencintaiMu. Susah senang, tawa tangis ada karena Engkau ingin mengajariku sesuatu. Terjadi atau tidak terjadi suatu peristiwa istimewa, aku kini menghadirkanMu. Mungkin karena itulah, meskipun ada kupu-kupu segede dinosaurus gentayangan di perutku, hatiku tetap tenang. Kesabaran tertinggi yang ada di dalam hidupku. Atau mungkin kepasrahan?
Karena kuyakin, segala yang berasal dariMu, akan kembali padaMu.

Setelah semua perjalanan itu.. Ceritaku mungkin tak seperti orang kebanyakan. Karena kurasa Engkau mencintaiku dengan cara yang istimewa. :)

Sabtu, 14 Mei 2016

Sebuah Umpan Balik dari Ribuan Astagaku

Apakah aku harus selalu bilang iya atau suka untuk semua hal representatif tentangku yang kau sebut?

Terbiasa menyetujui segala hal itu menakutkan bagiku, karena aku tak pernah tau hal apakah yang harus kutoleransi darimu.

Apakah aku harus mengabadikan wajah memerahku saat kau berhasil menyentuh segala esensi dari segala omelanku?

Sedangkan aku tak pernah kau izinkan mengetahui sejelas-jelasnya tentangmu, melainkan hanya lewat takdir [yang orang sebut dengan “kebetulan”].

Aku terbiasa meletakkan sudut pandangku dari kamera orang lain, sedangkan aku merasa meraba dalam kegelapan menujumu. Menunggu tak pasti adalah siksaan bagiku. Aku cahaya yang suka keterangbenderangan dalam segala aspek kehidupan.

Semoga ini bukan kemungkinan-kemungkinan dari kesoktauanku, ilmu dedutifku, yang menyesatkanku. Meskipun tersesat dalam alur pikiranmu itu menyenangkan. Hiyak!
*jiwit diri sendiri biar tetap sadar*

Sabtu, 30 April 2016

Teman Paling Bahagia di Dunia Persilatan

Haloo..
Aku sempat-sempatin nih nulis.. Akhir pekan, cuaca ga jelas, macetnya Malang di malam minggu juga sangat tidak efektif untuk dibuat berpetualang, mau ngerjain tesis juga masih setengah nyambung.. Hayati lelah, bangg~ wkwkwk

Jadi begini ceritanya..
Barusan menyapa teman-teman di grup untuk sebuah pengumuman, ketika aku menyadari aku kok yang paling cerewet di antara mereka. Kalau ada apa-apa, sangat ekspresif, minta dikelarin saat itu juga, tudepoin, simpel, nyeplosnya terlalu jujur. Masalah ya harus dicari solusinya. Sesuatu yang mengandung ambiguitas harus di[re]definisikan saat itu juga. Selama keyakinanku tidak penuh atas sesuatu dan merasa resiko yang signifikan, maka penilaianku atasnya adalah "sesuatu yang tidak wajar". #eaaa #ilmuauditnyakeluar

Akibatnya...
Aku butuh kuping duapuluhempat jam.
Papa udah pernah menasehatiku bahwa curhat paling sipp itu sama Tuhan. Perbanyak doa.
Tapi yagimana yaa.. namanya juga cewek. Logikanya cuma seberapa sih.. Perasaan paling banyak dipake. Itu keadaan normal lho, belum pas datang bulan. Bisa-bisa, kamu cuma salah bilang antara "kamu gemukan yah" sama "kamu segeran yah" udah beda nasib antara didorong ke sumur tetangga atau dapat senyuman manis. Para pria, camkan! :D
Mahluk-mahluk berwujud bernama teman itu adalah cara Tuhan untuk menitipkan solusi dan menjadi tempat berbagi. Kan manusia udah dikasi gelar kehormatan sebagai mahluk sosial.

Lalu implikasinya...
Aku butuh teman-teman yang selalu ada.
Agak berlebihan ya, emangnya temanku sebangsa Indomaret atau Alfamart yang buka 24 jam? wkwkwk
Maksudku adalah aku merasa jadi teman paling bahagia saat mahluk-mahluk itu...
...tak menaruh iri saat aku berbagi berita bahagia,
...menyeretku saat aku bilang aku tak sanggup,
...berdebat dengan elegan untuk sesuatu yang memerlukan jawaban dari sintesis pemikiran rame-rame,
...mendengarkan segala raunganku tanpa mengajak saingan derita,
Jadi, jangan heran kalo diriku nggupuhi jaya di sisimu ya, pemirsa.. wkwkwk

Aku tidak khawatir berada di tempat yang salah. Orang-orang dengan sifat dominan sama akan mendekat dan berkumpul. Orang yang penuh cinta akan berkumpul dengan yang penuh cinta (bukan yang menye-menye ala estehduagelas ya, tapi bagaimana menjadi rahmat untuk semesta ;D).
Saat menemukan dan berinteraksi secara langsung dengan mahluk-mahluk semacam itu, aku [mungkin] jadi teman mereka yang paling bahagia. Ga tau juga sih perasaan mereka sama-sama bahagia apa nggak, gara-gara sering kujahili, minimal kuketawai. wkwkwk

Teman paling bahagia, udah.
Teman hidup kapan, Laa?
#makjleb #ribuanbamburuncingmengoyakhatiku

heuheu..
Ah, sudahlah.. anak manis pamit dulu ya, pemirsah~ tangann~

Senin, 22 Februari 2016

Akyu Ngefans Kamyu~

Tulisan ini berangkat dari ngelamun part sekianku, yang otomatis mengalir. Semoga tidak bingung, wahai para pengintip anak manis.. haha

Aku memotret beberapa kejadian di keseharian.

Ada orang yang mungkin aslinya baik-baik saja atau baru “coba-coba” sesat dikit menjadi sesat dengan penuh totalitas HANYA karena dia ngefans atau bergaul dengan seseorang yang prinsip hidupnya begitu juga. Dari yang sifat yang semacam rakus, tamak (HAH, LEMAK?? *ditabok* *LOL*), sampai pada penyimpangan seksual. Padahal masih ada cewek kece single, kok cintanya sama sesama cowok sih? EHEM~

Ada fans artis tertentu yang rela bela mati-matian idolanya, padahal sama orang tuanya belom tentu berbakti segitunya. Artisnya baru dikritik dikit, mungkin dia rela ngontak Korea Utara. LOL.

Ada individu yang nggak mau menikah kalo bukan sama gebetannya yang itu. Diiyain aja biar cepet, dia cuma butuh jatuh cinta lagi. Kalo jodohnya bukan sama yang itu, yakali mau bertengkar sama Sang Sutradara? Hihi..

Ada ABG yang rela nodong orang tuanya dan ngancam-ngancam mau terjun ke parit tetangga, kalo nggak dibolehin nonton konser artis luar negeri. Padahal kan surga ga ada di telapak kaki artis. Mwahaha.

Ada beberapa orang yang cinta “buta”. Buta, karena cuma lihat apa yang dicitrakan seseorang di media sosial, cuma denger suaranya sesekali, cuma lihat senyumnya sekilas, cuma lihat postingan di blognya. EH, BENTAR.. *dadah-dadah ala Putri Indonesia*

Khusus yang ini, aku termasuk orang yang mudah jatuh cinta sama pola pikir, kelakuan seseorang. Padahal sejak kecil aku nggak gampang ngefans (backsound: KAMU PIKIR SEMUA INI MUDAH BUAT AKUH, BANGG??? *okay* *LOL*), meskipun lingkungan, eh, teman-teman sebayaku njerit-njerit kayak kejepit pintu pas lihat artisnya di majalah atau TV. Meskipun orang itu pejabat, kaya, kenal sama presiden, pernah gendong kucingnya Tarzan, kalo ngelap ingus pakek seratusribuan, suka tebar-tebar cek kosong di jalan depan rumah, hidungnya mancung kayak menara Eiffel, TRUS MEMANGNYA KENAPA? Nggak cocok ya nggak cocok aja. Agar memastikan ngefans sama mahluk yang tepat, biasanya aku mengamati atau sekalian nguji***. Lho kok gitu? Tuh lihat bio, kan bidadari jahil. *cengengesan* Aku percaya sama orang-orang yang pada saat sesuatu-yang-nggak-banget terjadi, dia (beliau) konsisten sama citra yang ia (beliau) tampilkan sebelum ada apa-apa. Menurutku, pencitraan itu bisa dibikin atau kitanya yang salah interpretasi saking sukanya. Kedewasaan dan keimanan seseorang sangat diuji saat titik terendah dalam hidup. Kan, tua belum tentu dewasa. Yakali calon mahasiswa aja yang bisa diuji saringan masuk. J

JADI LAA, SELAMA INIHH... :))

Ya gitu deh. Segala sesuatu di dunia ini nggak ada yang abadi. Kecuali dia berhasil membawamu maju. Maju kemana? Maju mudur cantik? wkwkwk. Maju urusan dunia akhirat dong, kak. J

Cintai seseorang secukupnya saja.. Tanpa cinta, hidup nggak sedap. Tapi kebanyakan penyedap rasa, juga nggak enak kan?
Aih, sedhappp~

***tidak termasuk Rasulullah SAW, bagi yang mengimaninya. J

Jumat, 12 Februari 2016

Siapakah Juaranya?

"You got a fast car
I want a ticket to anywhere
Maybe we make a deal
Maybe together we can get somewhere
Any place is better
Starting from zero got nothing to lose
Maybe we'll make something
Me myself I got nothing to prove"
(Tobtok feat River - Fast Car)


Suatu waktu, dalam sebuah perjalanan panjang -halah-.. aku dengerin anak kecil yang duduk di belakangku berceloteh ke ibunya..
"Bu, ibu.. ada bus, bu.."
Ibunya mengiyakan saja.
"Ibu tau ndak siapa yang menang? Ya bus yang sampai duluan ke terminal!" katanya bersemangat.

Nggak tau kenapa, aku menolak pernyataan anak itu. Buktinya, sampai sekarang aku ingat detil perkataan anak itu. Biasanya mah pelupa. :p


Eh, bentar.. aku bahas apa tadi?
Oh ya, kata- katanya anak kecil.
Hehehe..

Aku nggak setuju kalo bus yang menang adalah bus yang duluan sampai terminal. Kalo itu yang jadi patokan pemenang, pasti semua sopir ugal-ugalan. Kan, yang duluan yang sampai terminal yang juwarak!
Menurutku, yang menang ya yang bus yang woles tapi tepat waktu, yang nggak ugal-ugalan tapi juga nggak jalan kayak siput, yang nggak bikin penumpangnya mual gara-gara nikung ala Fast & Furious, yang nggak suka ngerem mendadak kayak detak jantung kalo mendadak ketemu sama gebetan. KOK SALAH FOKUS YA INI?? okay. maap.

Pokoknya intinya, yang terburu-buru, yang paling cepat, belum tentu jadi juara.

YA MEMANGNYA PENTING MBAHAS ITU, LA?

Ya coba dimetaforakan gitu.. Misalnya, yang belum ketemu jodohnya, yang belum selesai tesisnya.. padahal di sekitar udah pada berkomitmen, udah pada ujian komisi, ujian proposal..

Semua pasti menemui akhir dari pencarian. Tapi tidak semuanya menikmati perjalanannya. Nemuin jodoh, jodohnya ya [inshaallah] satu untuk selamanya. Bikin penelitian atau ujian akhir untuk satu judul, satu jurusan ya [inshallah] sekali seumur hidup. Masa iya, stress tiap hari pas berproses? :)

Lagian, membandingkan diri sendiri sama orang lain itu nggak ada abisnya. Menurutku, musuh terbesar ya diriku sendiri. Mau mbanding-mbandingin, mau ngetawain kesalahan, ya pantesnya ke diri sendiri yang kemaren. Jadi, kita tau diri kita yang sekarang lebih elegan -UHUK- bukan dari siapapun, melainkan dari si penggalao yang kemaren nangis cuma dari hal-hal sepele [sepele kalo dilihat dari sudut pandang kita yang sekarang].


Terus, kalo ga cepet-cepet ntar kan nggak bisa menjalani perjuangan yang selanjutnya?

Perjuangan? Yakin itu perjuangan? Bukan siksaan, tuntutan, atau permintaan orang lain? Yakin itu maumu? *jawil dagu* :D
Kalo cepet-cepet itu adalah sebuah seni atau sejenis refreshing dalam hidupmu ya monggo, silahkan terburu-buru dengan senang hati. Kesadaran dan kemampuan masing-masing orang berbeda. Percayalah, mereka yang melakukan sesuatu yang mereka cintai tidak akan merasa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, atau aslinya berproses sangat amat lama tapi kerasa cepat karena bahagia. Beda sama orang yang terburu-buru menyelesaikan sesuatu karena tidak betah, jatohnya malah kerasa lama, stress, insomnia, rambut rontok, borong cemilan, sesenggukan di pojokan lemari... Hehehe..

Yawes. Segitu aja. Dari tadi bacanya jurnal psikologi, mikirnya malah ke sini.. mwahaha..


(anak manis yang suka gagal fokus)
mumumu~