Kata seseorang, seorang guru bukanlah guru jika tak ada
orang lain yang mengakuinya sebagai guru.
Dengan kata lain, seseorang tak dapat mengakui dirinya
sendiri sebagai seorang guru, tanpa hadirnya seorang atau beberapa orang murid. Mengapa ia dapat diakui sebagai seorang guru? Menurutku, karena ia berhasil membagi ilmu, memotivasi orang lain, sampai menginternalisasikan ajarannya di hidup seseorang yang mengaku muridnya. :)
Kataku, seorang pecinta bukanlah pecinta jika ia tak mulai
membagikan kasih sayang. Aku disebut sebagai kesayangan untuk sesuatu di
komunitas. Aku tak merasa demikian. Setauku, aku hanya menyayangi. Selama ini
hanya berusaha menyayangi. Disayangi atau tidak, itu hak orang lain. Disayangi
balik, alhamdulillah. Tidak disayangi, juga alhamdulillah. Setauku, aku tidak
melakukannya demi sebuah pengakuan “Aku. Aku. Aku.”
Kubalik perspektifku. Kupandang orang lain dari caraku
memperlakukan orang lain.
Semakin ia merasa kecil, padahal yang ia lakukan besar sekali energi positifnya. semakin ia mulia di mataku.
Sebaliknya, semakin ia merasa “aku aku aku” dengan tingkat
kesombongan yang signifikan, semakin ia kerdil di mataku.
Kerendahan hati bukanlah kerendahan diri. Kerendahan hati
bukan pula kesombongan terselubung, merendah-merendahkan diri untuk menjatuhkan
lawan. Bukannn..
Kerendahan hati itu, versiku, merupakan keyakinan diri bahwa
ia butiran debu di dunia karena kesadaran bahwa ia “maya” dan sementara, dan melihat
keagungan Tuhan dari segala yang Ia ciptakan, dengan memelihara segala sangkaan
baik. Ia paham ia memiliki kasih sayang, dipinjami energi dariNya, jadi ia akan
menyayangi Ia dan ciptaanNya dengan niatan baik dan cara yang baik pula.
Omongan abot bab sekian,
reaksi yang ditulis dengan penuh kasih sayang pula,
anak manis.
0 komentar:
Posting Komentar