Sabtu, 21 Mei 2016

Mengerdilkan Keakuan

Kata seseorang, seorang guru bukanlah guru jika tak ada orang lain yang mengakuinya sebagai guru.
Dengan kata lain, seseorang tak dapat mengakui dirinya sendiri sebagai seorang guru, tanpa hadirnya seorang atau beberapa orang murid. Mengapa ia dapat diakui sebagai seorang guru? Menurutku, karena ia berhasil membagi ilmu, memotivasi orang lain, sampai menginternalisasikan ajarannya di hidup seseorang yang mengaku muridnya. :)

Kataku, seorang pecinta bukanlah pecinta jika ia tak mulai membagikan kasih sayang. Aku disebut sebagai kesayangan untuk sesuatu di komunitas. Aku tak merasa demikian. Setauku, aku hanya menyayangi. Selama ini hanya berusaha menyayangi. Disayangi atau tidak, itu hak orang lain. Disayangi balik, alhamdulillah. Tidak disayangi, juga alhamdulillah. Setauku, aku tidak melakukannya demi sebuah pengakuan “Aku. Aku. Aku.”

Kubalik perspektifku. Kupandang orang lain dari caraku memperlakukan orang lain.
Semakin ia merasa kecil, padahal yang ia lakukan besar sekali energi positifnya. semakin ia mulia di mataku. 
Sebaliknya, semakin ia merasa “aku aku aku” dengan tingkat kesombongan yang signifikan, semakin ia kerdil di mataku.

Kerendahan hati bukanlah kerendahan diri. Kerendahan hati bukan pula kesombongan terselubung, merendah-merendahkan diri untuk menjatuhkan lawan. Bukannn..
Kerendahan hati itu, versiku, merupakan keyakinan diri bahwa ia butiran debu di dunia karena kesadaran bahwa ia “maya” dan sementara, dan melihat keagungan Tuhan dari segala yang Ia ciptakan, dengan memelihara segala sangkaan baik. Ia paham ia memiliki kasih sayang, dipinjami energi dariNya, jadi ia akan menyayangi Ia dan ciptaanNya dengan niatan baik dan cara yang baik pula.

Omongan abot bab sekian,
reaksi yang ditulis dengan penuh kasih sayang pula,


anak manis.

0 komentar:

Posting Komentar