Tahun lalu, saat aku penelitian.. dan menyebar kuesioner..
salah satu responden menolakku dengan kata-kata yang menurutku menyakitkan
karena ia tidak paham. Katanya,”Anak UB itu kok banyak ke tempat saya. Coba ke
lain saja.”
Wanita ini adalah
salah satu pengusaha di sebuah kampung di Malang dan tempat usahanya bisa
dibilang lumayan besar apabila dibandingkan tetangganya. Harapanku kala itu
besar sekali untuk mendapatkan responnya. Penolakan adalah hal biasa, asalkan
dilakukan dengan halus. Toh saya tidak maksa. Kata sahabat saya, “Tidak hanya
memberi, menerima juga harus ikhlas.” Yang dimaksud adalah mau diterima maupun
ditolak, kita harus terima, tidak boleh memaksa juga. Nah, dalam kasusku, aku
dengan kemampuan “kemana-mana”ku, menangkap segala pernyataan sombong di semua
jawaban yang dilontarkan wanita pengusaha itu saat aku menjelaskan dengan sopan. Kalau (boleh) saya intisarikan,
dia ingin pengusaha lainnya di kampung itu juga didatangi untuk objek
penelitian. Aku tidak menganalisa tanpa bukti.
Pertama, dua hari berturut-turut aku ke tempat usaha itu dan
berkeliaran di kampung itu, aku sama sekali tidak menemui mahasiswa yang lain,
baik yang se-almamater, maupun beda kampus. Tau kan ya, mahasiswa yang lagi
penelitian, wajib memakai identitas kampus: jas atau jaket almamater. Banyak peneliti ke tempatnya? Yakin nih?
Kedua, pengusaha lain juga sering dijadikan responden, tidak
hanya wanita ini. Pengusaha lain yang dengan tangan terbuka menerima
kedatanganku bahkan tidak pernah menyombongkan “berapa kali dia didatangi
mahasiswa”, tidak sedikitpun keberatan di dalam kata maupun bahasa tubuh. Bukti
di dalam bukti kedua ini aku dapatkan secara tidak sengaja. Saat aku sudah
lulus dan bertemu rekan se-objek penelitian, ternyata memang pengusaha lain yang baik hati
ini adalah salah satu dari dua orang di kampung tersebut yang bersedia menerima
peneliti macam aku, temanku, kami para mahasiswa yang benar-benar penat
di-ping-pong birokrasi penelitian.
Hal yang paling mengecewakanku adalah wanita itu menyebut
Tuhan dalam status whatsappnya, berfoto di Tanah Suci, namun kata-katanya
seolah tak berTuhan.
Mengapa hal lama ini kuungkit lagi?
Bagi seorang melankolis, luka di masa lalu tak sepenuhnya
bisa sembuh. Pengungkitnya bisa hal serupa. Hari ini kualami hal serupa dengan
tema pendidikan.
Singkat cerita, saat mengurus administrasi, aku menerima
calon kuitansi yang salah ketik. Kusebut calon kuitansi, karena belum
kutandatangani dan masih di tangan si mbak admin. Ternyata salah ketik itu
disebabkan salah paham dia mengenai jumlah SPP yang kubayarkan. Ya, kuingatkan
saja soal temuanku.
“Lho mbak ini kok ngerti sih. Padahal kan kuitansinya belum
dikasikan,”katanya.
Maksudku aku menghaluskan istilah kepo sekaligus bercanda. “Haha,
iya nih kan dari akuntansi. Mungkin pas jiwa auditnya lagi kumat,”kataku nyengir.
“Aku aja kuliah ga dapat apa-apa,”tanggapannya. Nada pedih. Aku turut berduka untuk pernyataannya.
Setelah kutandatangani kuitansi dan menghitung ulang
uangnya, kupastikan lagi,”Sudah mbak. Ga ada tanda terima atau apa gitu yang kubawa
kan ya?” Mengingat salah satu Surat Keterangan Lulus-ku dibawa olehnya.
“Kan tadi udah tanda tangan kuitansi. Ya udah..Beres.. Di akuntansi
diajarin kan?” katanya sinis.
Kecewaku tidak berhenti hanya dari ucapan kasarnya. Kalau
kusintesiskan, dia membully dirinya sendiri karena tidak dapat apa-apa semasa
kuliah (akuntansi), lalu jengkel dengan orang yang dia kira dapat ilmu lebih darinya saat
kuliah, yaitu aku. Selain itu, sebelum melayaniku, kudengar dia mengakui
keteledoran yang ia buat terhadap temannya dan menyebut kata “Ya Allah.” Dia
berhijab, bahkan lebih menutupi aurat daripada aku jika dilihat dari lebar
hijabnya. Tapi apa yang ia perbuat padaku, TUHANNYA DIKEMANAIN,MBAK?? minimal
juga kalo ga paham akuntansi, mulutnya harusnya ikut kuliah, tau sopan santun.
Aku percaya wanita berkelas tak selalu dari make up atau parfum mahal, atau tak
bisa dijustifikasi juga melalui hijabnya, tapi penghadiran Tuhan di
kelakuannya.
Refleksinya..
(1) Orang yang sedang "sakit" memiliki kecenderungan menyakiti
orang lain, entah lewat apapun itu.. ucapannya, perilakunya, bahkan di jaman
terelektronisasi, penyakit itu bisa disebarkan lewat dunia maya. Sejatinya, dia bermasalah dengan dirinya sendiri.
(2) Ya, aku marah. Marah itu kulampiaskan lewat tulisan ini.
Balas dendamku berupa pengikisan biji sawi yang tumbuh berupa sifat sombong di
hatiku, dengan berkaca betapa tidak elegannya orang “sok” itu. Jika memang
sedang bermasalah dengan diri sendiri, hendaknya diam, bukan menyeret yang
lainnya ke neraka yang penuh jiwa-jiwa ga tenang dan galau.. Sebelum berbicara,
pikiranku harus lebih panjang dari gelarku.. Setelah menyakiti orang lain, kamu
mungkin bisa minta maaf, tapi bekas lukanya belum tentu bisa hilang.
(3) Manusia berTuhan tidak akan merusak hubunganNya dengan
Penciptanya dan sesama ciptaanNya. Agama bukan hanya simbol. Substansi dan
bentuk harus saling berlomba mengungguli. Substansimu. Bentukmu. Untuk
menghadirkan Tuhanmu. Hijabmu. Akhlakmu. Untuk mendekat pada Allah.
(4)
Anak melankolis harus sering istighfar, latihan putus hubungan emosional
sesingkat mungkin. Anak melankolis yang masih lajang tidak mungkin bersama
dengan mahluk berperilaku celometan dan kasar. Anak melankolis yang masih
lajang dan suka mikir kemana-mana, tidak cocok dengan orang berpikiran kaku,
sempit, dan ke”aku”an tinggi. Kalau belum tau, setidaknya ada sistem eliminasi.
Lho kan, sistem lagi. wkwkwk, ini sih refleksi yang jauh ke depan banget. :D
Salah benarnya anggapanku, biar Tuhan yang menegurku. Mari belajar jadi versi terbaik. :)