Jumat, 24 Juli 2020

Menjaga Nyala

Pendidikan yang baik adalah yang menyadarkan.
Sadar berarti memandang sesuatu secara holistik, dibilang bebas nilai juga tidak, tapi terlalu subjektif juga tidak. Dalam subjektivitas ada objektivitas, dalam objektivitas ada subjektivitas. Jika tidak seimbang, kita akan menganggap orang lain sama dengan kita, padahal beda. Interpretasinya tidak sama dengan interpretasimu dan -ku. Tapi dalam -ku dan -mu ada juga butuh satu pernyataan bersama untuk  "yang benar bagaimana?".
Dalam kepentingan bersama, ada kepentingan pribadi yang jika tidak dipenuhi akan merusak satu per satu individu. Tapi jika individualisme itu terlampau penting, tak ada kata bersama.
...
Sadar juga penting untuk menghilangkan kata "takut, terlampau kagum, cinta buta" yang jika dituruti kita kehilangan makna dan arah. Jika tak ada si anu, berarti aku bisa nganu. Atau kalau tidak didikte si anu, aku tidak bisa nganu. Kalau nggak nganu sama dia, aku berhenti nganu.
Jika begitu, kreativitas, inisiatif, dan pemahaman tentang benar-salah akan tereduksi. Kerdil. Kebaikan hanya ada saat sesama ciptaan-Nya yang dikagumi atau ditakuti masih ada. Tongkat estafet kebaikan akan terputus saat sesama-Nya tak ada.
Menakutkan.
Padahal seharusnya dilihat maupun tidak, diawasi maupun tidak, individu harus terus menjalankan kebaikan. Kebaikan besar itupun takkan pernah tercapai tanpa kebaikan kecil. Menancapkan paku di pohon takkan menimbulkan kerusakan yang signifikan, tapi coba lakukan berulang kali, bisa jadi sebatang pohon menjadi jelek, bopeng, busuk, dan mati karenanya.
Tapi terlalu fokus pada kebaikan-kebaikan kecil juga akan memakan waktu kita, sehingga tidak sempat melakukan gerakan kebaikan besar.
...
Sadar juga berarti jatuh cinta terhadap Tuhan. Karena cinta terhadap Tuhan, maka cinta terhadap mahluk-Nya takkan berlebihan. Kebaikan untuk sesama adalah perwujudan cinta kita kepada Tuhan. Hormat, jatuh cinta, atau apapunlah bentuknya. Tapi bukan berarti jika mahluk yang jadi tempat kita mencurahkan rasa itu tiada, kita harus berhenti menjadi baik. Mereka yang dipertemukan dengan kita adalah salah satu jalan menemukan Tuhan.
... 
Itulah mengapa beberapa anak akan mengadu pada sang Ibu saat sesuatu buruk menimpanya. Sudah diberi pencerahan, kembali lagi. Sudah diberi jalan, akan kembali lagi kepada sang Ibu. Contoh dari Ibu bisa jadi melekat sederhana, kemampuan meniru mungkin sekedarnya, tapi sadar adalah kemampuan meneruskan dan mengembangkan potensi untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan besar. Seorang Ibu harus mengarahkan cinta si anak kepada Tuhan, untuk menjaga si anak tetap melakukan kebaikan walau nanti sang Ibu berpulang.
Bagi orang yang ibunya sudah berpulang,  saatnya menjadi ibu untuk anak-anak yang "dikagumkan" kepadanya.
Kenapa Ibu? Karena kepadanyalah dititipkan penyampai rasa, getok tular nilai. Semua wanita cerdas pada bidangnya masing-masing.
Nilai? Belum tentu semua punya.
Karena itulah, pendidikan terpenting dari Ibu kepada anak adalah kesadaran.
"Betapapun buruknya kehidupan dunia, cobalah bangkit dan jadi semakin kuat. Kau diciptakan untuk diuji, apakah pantas pulang ke tempat terbaik.... dengan mengajak orang lain." :)
...
Pembimbing yang dibimbing,
Tempat lahir dan terlahir kembali,
jelang akhir bulan ketujuh, dua ribu dua puluh
-refleksi bab awal Capra dengan I Ching-nya-

Minggu, 22 Maret 2020

Kau dan Corona

Hohoho, tidak.. aku tak ingin menggombal.. persamaan seseorang dengan virus. Harusnya kan aku yang digombali.. #loh :'))
...
Sudah sekitar 2 minggu dari munculnya kasus pertama positif Corona di eks Karesidenan Madiun.
Menjaga jarak dengan yang lain, tapi bukan berarti hatiku juga berjarak. Aku cuma tidak tahan...untuk menulis dan melukis realitas.
Sesiangan aku memutari kota lengkap dengan masker kain untuk berbelanja, sebelum yaaa kembali mengurung diri di rumah.
Lalu lintas di hari minggu sungguh lengang, tak seramai biasanya. Ada bus yang menepi, kernet dan kondekturnya tampak kebingungan di trotoar, mungkin ada setoran yang tak terkejar (lagi) hari ini.
Dua orang berjaket Gojek tanpa penumpang sedang bercakap sambil menunggu lampu hijau. Imajinasiku berkata yang satu bertanya tips pada yang satunya, bagaimana mendapat orderan di masa sulit ini.
Pasar-pasar mulai sepi. Hewan yang dikurung di lapak para pedagang mungkin bertanya-tanya, “Apakah manusia mulai meniruku?”
Beberapa pedagang kecil masih nekat buka, dan beberapa orang termasuk aku masih membelinya. “Gimana ya kalau orang-orang sudah tak mau keluar rumah lagi? Mereka makan apa? Apa mereka punya tabungan untuk masa-masa sulit seperti ini?” batinku. Ada yang tersenyum senang karena mungkin aku pembeli pertamanya di siang hari itu.
Pegawai pom bensin yang memberikan kembalian kepadaku tampak bergegas dan tak ingin menyentuh jariku. Aku hanya bisa berkata dalam hati,”Percuma mas, kalo sampeyan atau saya atau pemilik uang kertas sebelumnya bawa virus, sudah menjalar lewat uang itu.. tanpa bersentuhan antarjari pun bisa..”
Seorang wanita yang mengantri di ATM tampak menggunakan plastik kiloan untuk melindungi tangannya memencet tombol-tombol angka itu. Aku penasaran dengan caranya mencopot plastik itu nanti, apakah diinjak dengan alas kakinya atau bagaimana?
Sebuah tulisan di kaca apotek terpampang “Masker dan Hand Sanitizer Habis” menyambutku, seolah sudah jengah menghadapi beribu orang berduyun-duyun keluar masuk hanya untuk menanyakan hal itu.
Toko yang agak besar menyediakan wastafel dadakan untuk cuci tangan, pegawainya pun sudah memakai masker meskipun ada beberapa yang memelorotkannya saat ingin bercanda penuh totalitas dengan kawannya, atau menyeka keringat karena panasnya toko.
Aku menatap trotoar dimana aku biasa menggandeng gadis kecil pulang dari sekolah, tapi sekarang tak satupun kehidupan kujumpai di area itu. Terpikirkan kawan-kawanku dan astagaaa, sejak kapan aku tidak bersyukur kebersamaan yang menyenangkan itu, kenapa baru terasa sekarang? Kadang mencari bukti itu bukan sesuatu yang tampak, tapi dari sesuatu yang seharusnya ada tapi tidak ada. Kata buah pikir Aoyama Gosho melalui tokohnya, Conan. Atau bahasa akuntansinya… kehilangan itu kerasa belakangan, kalau di depan namanya down payment. Heuheu.. Ketawa, dong. Ayolah, demi sistem imun. :’))
Lamunan itu terus membersamai sampai aku tiba di depan rumah lagi, dan terhenyak ketika ada yang berkelakar satir,”OPO??? KERJA DI RUMAH??? KAPOK! AKU KAN BUKAN ORANG KANTORAN, NGGAK NGEFEK. HAHAHA” Dari sudut mataku, kumelihat ia menyambut beberapa orang tamu di rumahnya. Deg! Maknanya kerja dari rumah kan bukan kumpul-kumpul sambil kerja di rumah.
Aku masih punya pilihan, di kantor atau di rumah, hand sanitizer atau sabun cuci tangan, masker medis atau masker kain, masak sendiri atau beli. Bagaimana dengan mereka yang tidak punya pilihan? Tak punya pilihan untuk menghidupi diri atau mengedukasi diri.
Aku juga teringat adikku, kakak sepupuku yang berprofesi sebagai dokter. Mereka tidak punya pilihan selain mengahadapi resiko demi kemanusiaan, rahmatan lil alamin..
Aku sendiri tak pernah membayangkan akan menghadapi ini, sendiri (jika aku menghitung jumlah jiwa dalam rumahku) jikalau terjadi hal paling buruk. Atau pilihan kedua adalah, menghadapi ini sebagai umat, yaitu memandang aku sebagai kita, jadi membayangkan yang terburuk yang dihadapi orang lain, bangsa, atau lebih masif lagi..peradaban.

Kau... apa pilihanmu? Apa solusimu bagi mereka yang tak punya pilihan? Masa darurat corona oleh pemerintah Indonesia diperpanjang hingga 29 Mei 2020.


Minggu, 02 Februari 2020

Rumput di Halamanku Memang Lebih Hijau!

Saat itu petang sudah menguasai langit kota dimana aku menuntut ilmu. Sesama anak kos berkumpul untuk menceritakan pengalaman di kampus sesiangan, maklum beda fakultas. Beda ilmu, budaya, termasuk jam makan. Hehe.
Aku mengaduk mie instan yang baru matang di depanku, ketika tiba-tiba temanku nyeplos, "Aku pegel mbek awakmu! (Aku sebel sama kamu!)."
"Lho lapo? (Lha kenapa?)," kataku bertanya karena tidak merasa berbuat sesuatu yang menyakitkan orang lain.
"Lha kamu tu kalo maem kelihatannya enak banget. Aku kan jadi laper lagi. Nyebelin."
Glek! Padahal ini makan malamku. Satu-satunya asupanku malam ini.
"Lho ayo ta, maem bareng?" kataku menawarkan.
"Aku udah maem barusan," katanya sambil melirik piringku.

Jadi, aku yang salah atau persepsinya yang salah? Jadi, cara makanku yang salah atau ketertarikannya yang salah? Ini aku atau dia yang harusnya tersinggung? Aku yang terlalu menikmati hidupku atau dia yang kurang bersyukur? Oh aku selama ini biasa-biasa aja, orang lain melihatnya luar biasa? Oh aku bisa gitu yaa..
Kukunyah mie goreng dengan perlahan sambil memikirkan perspektif orang.

"Tuh kan! Sebel!" ujar temanku memalingkan muka.

Oh, ini mienya yang salah! Batinku tak mau berlelah diri. Biarlah lakuku menunjukkan tanpa harus menagar "always alhamdulillah". Nikmat itu relatif, kalau sederhana tapi bersyukur ternyata bisa kelihatan mewah juga.

Refleksifitasku kini, tentu merepotkan menjawab satu per satu dugaan manusia. Waktu terus berjalan, akan ada banyak perjuangan. Budi pekerti tak dapat tumbuh di dalam kubangan kebendaan. Man robbuka? tak mungkin dijawab "mie goreng", "uang", atau "udahlah, malaikat..kita kan fren. Nggak usah jawab nggak papa ya?" karena kita fokus kepada yang terlihat enak pada orang lain. Tapi nggak sadar atau tak pernah lihat lebihnya diri.
Huhu.

*Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji (Sosrokartono)*

Selasa, 28 Januari 2020

Kecelakaan Beruntun

Saat itu aku baru sampai di rumah duka. Terlihat lengang dari halaman depan. Wajar, aku menuruti kata hati ke kantor dulu untuk membimbing anak, baru siangnya mampir ke blok sebelah untuk takziah. Aku mengintip ruang tamu, masih ada tikar tergelar. Segera ada wanita yang menyambutku saat aku mengucapkan salam. Aku duduk dengan manis setelah bersalaman dengan si wanita, lalu pada empat orang ibu-ibu yang kuduga sama-sama pelayat, pada seorang bapak yang terlihat lelah melayani tamu, lalu ada seorang laki-laki muda mungkin sedikit lebih tua daripada aku.
Lelaki tua terlihat mencoba mengenaliku. Kusebut nama papaku, yang akhirnya dapat memahamkan beliau sekaligus membuka memori masa mudanya. Sekumpulan ibu-ibu itu rupanya paham arah pembicaraan akan berubah mengepoiku dan mereka tak tertarik, lalu memutuskan pamit. Seperti biasa, ada pelayat yang akan mendoakan secara lantang,"Semoga almarhumah ibu diampuni dosa-dosanya nggih. Diterima amal ibadahnya..."
Semua sepakat mengaminkan sebelum si ibu menunjuk wanita muda yang tadi menyambutku,"...sama mbaknya, sampeyan belum punya momongan kan? Segera lho yaa.."
Sejenak batinku berbisik kurang ajar atas kekurang ajaran ibu yang satu ini. Suasana duka berubah canggung, si wanita hanya tersenyum. Laki-laki di sebelahnya mengangguk saja. Oh, ternyata suami-istri toh.
Ibu-ibu itu bergegas pulang setelah puas ber'empati'. Si bapak tua lalu segera menjadikanku tokoh utama dalam obrolan. Aku mengimbanginya dengan bertanya almarhumah sakit apa, dimakamkan jam berapa, dan lain sebagainya. Tapi lagi-lagi si bapak seperti tanpa koma dan jeda mengembalikan cerita ke arahku,"Mbak putranya sudah berapa?" Mungkin beliau menghitung usia papa mamaku yang seharusnya sudah menggendong beberapa cucu sebelum tiada.
"Belum. Saya masih single,"kataku santai.
"Lho kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kenapa kok belum menikah?"
"Ya kan belum ketemu jodohnya,"kataku yang justru tertawa dalam hati. Pertanyaan retoris wkwkwk.
"Lho kok belum sih? Kok terlambat?"kata beliau mengejar.
Mak deg. Dia ngremehin Gusti Allah nih. "Maaf, pak. Urusan jodoh itu nggak ada kata terlambat atau kecepetan. Semua sudah diatur," aku melirik lelaki muda yang duduk diam sedari tadi mulai mengangguk-angguk.
Kalau aku telat menemukan jodohku, berarti putra bapak kecepetan nikah dong? Lha wong belum dikasi keturunan..
Imajinasiku mulai kurang ajar.
Astaghfirullah.
"
Semua rezeki juga Allah yang ngatur. Kalau memang belum saatnya, ya namanya bukan terlambat juga kan?" kataku masih dalam kuasa nada merdu, tak meninggi.
Lelaki muda di depanku semakin lebar senyumnya dan anggukannya bertambah sekian kali. Sayangnya, istrinya sudah masuk dan menghilang setelah rombongan ibu-ibu tadi pulang. Ya Allah, pak.. Anakmu pak, anakmu.. Kok aku yang gemes sih.. Kok aku yang belain sih..
"Oh yaya, semuanya Tuhan yang ngatur ya.." kata si bapak dengan pandangan menerawang.
Jadi, selama ini apa yang kau pikirkan kisanak, soal jodoh, rezeki dan segalanya dalam hidup? Masalah cepet-cepetan? Ibu panjenengan barusan meninggal dalam usia 97. Papaku dalam usia 73 meninggal dunia. Itu juga masalah siapa yang paling cepat? Aku mencoba mengendalikan perdebatan dalam diriku.

Kurasa pembahasan ini harus diakhiri dengan mengucap,"Maaf pak, saya harus kembali ke kantor sekarang. Jam istirahat habis."
Alhamdulillah.
Kecelakaan beruntun dari hati ke hati itu semoga sukses membentur pikiran peniadaan Tuhan pada keseharian. Kalau rangka kendaraan dapat saling hantam dan penyok, maka kata-kata dapat membuat lebamnya hati. Hati-hati. Habluminallah, habluminannas.

Minggu, 19 Januari 2020

Kecerdasan Melintasi Ruang dan Waktu: Mbak Rewang

"Mbak, yang di kaca jangan dihapus!" tunjukku ke arah meja rias berukuran 1,5 kali 1 meter.
"Kenapa?"
"Ya soalnya itu ada tulisannya."
Mbak rewang mendekat sebelum berkata,"Astaghfirullah, mbakkk... Papan tulis apa gunanya kok kaca dibuat nulis?"
Padahal kupikir mbak rewang sudah terbiasa melihat kelakuanku yang mungkin antimainstream kalau dibanding bos-bos lainnya,"Papanku nggak cukup, makanya pakai kaca." Aku tertawa. Mbak rewang mendekat dan mulai membaca.
"Kenapa isinya nama surat Al Quran?"
"Bahan tulisan,"kataku singkat sambil tertawa melihat mbak rewang masih geleng-geleng kepala.
...
Suatu hari, ia tiba-tiba datang sambil ngomel.
"Eh, di WA bilang jam 1, kok jam 11 udah datang?" kataku membukakan pintu.
Dia mulai bercerita. Lebih tepatnya pada akhirnya saling bercerita. Sampai akhirnya ia bertanya,"Mbak ela mau kemana?"
"Tenang, kalau kita kan sudah terikat gara-gara papaku nunjuk mbak biar nemenin aku kalau papa udah ndak ada."
"Kita terikatnya sama Gusti Allah ya mbak?"katanya menyimpulkan.
"Iya. Namanya janji harus ditepati."
Sejenak ia berpikir. Mungkin sedang suntuk berat. Terdengar dari ceritanya, segala beban ia bawa sendiri ke sana kemari, tanpa menangis.
"Berarti tiap orang punya cerita beda-beda ya mbak? Ndak mesti aku thok yang nggak enak?"
"Ya, tentu aja. Dramaku sendiri, mbak. Si A ceritanya sendiri. Si B beda lagi. Lha dipikir orang ketawa-ketawa thok, ga punya masalah?" jawabku.
"Oh yaya."
Kulihat dia berpikir sambil hendak menjemur baju di lantai 2.
"Mbak.."
"Ya?" langkahnya terhenti, satu kakinya sudah memijak di anak tangga pertama.
"Tau nggak aku sekian banyak baca buku, dapat apa?"
"Apa?" si mbak rewang terlihat membayangkan tumpukan buku yang belum sempat kubereskan di depan meja rias.
"Islam mengajarkan 2 hal penting. Pertama, kedermawanan selama hidup. Mbak sudah to, lha itu ceritanya ngasi-ngasi? Yang kedua, budi pekerti. Dijaga pakai sholat. Itu bekalnya hidup 'mbesok'. Paham maksudku?"
"Iya mbak."
"Taklanjutin ya..pas baca buku itu aku nangis. Tau kenapa?"
"Emang kenapa mbak ela?"
"Aku juga punya janji sama papaku buat ketemu di 'sana'. Harus ketemu lagi, aku mama papa, katanya. Padahal ya mbak..surga sama neraka kan nggak kekal."
"Lhoo mana bisaaa?" kata mbak rewang sedikit tidak terima.
"Kan yang kekal cuma Gusti Allah. Setelah habis semua orang menerima azab di neraka, yang berbuat baik di dunia dapat balesan pahala..mungkin semuaaaanya kembali ke nol lagi."
"...."
"Jadi niatnya mbak berbuat baik itu apa? Sudah berusaha tapi masih diperlakukan nggak adil, itu enaknya gimana?"
"Udah tak takut-takutin lho mbak, yang suka ngatain itu..hayoo..gitu terus..mulutmu disiksa sampek ndak mbentuk di neraka.."
Aku tertawa terpingkal mendengarkan celotehnya yang dibarengi ilustrasi memakai wajahnya.
"Orang yang suka bantuin orang lain kayak mbak itu artinya memberikan energi, memancarkan untuk orang lain..jadi nanti bakal diisi ulang 'mbesok'.. Orang yang suka ngambil haknya orang lain dan tega, artinya menyerap energi. Soalnya kebanyakan nampung energi buat dirinya sendiri itu, makanya kudu dibakar di neraka. Paham ndak, mbak?"
Ia mengangguk. Mbak rewang tampak berpikir lagi dan meneruskan pekerjaannya. Ketika turun kembali dia kembali mengoceh,"Aku udah tambah tua."
"Oya jelas itu mbak, semua juga gitu. Hidup kan cuma sementara," sahutku mengalihkan kegalauannya.
"Aku kerja buat apa? Aku harus ngapain lagi? Aku ditawarin sekolah ngaji, mbak. Cuma 50 ribu kok, ah ngapain takpikir..lhawong uang bisa dicari. Mosok ditabung thok," cerocosnya.
Agak ajaib aku mendongak,"Oh lha terus?"
"Jamnya sama kayak jadwalnya ke mbak ela."
"Halah, ke rumahku mundur sejam."
"Gitu ya mbak?"
"Lho iya. Kan sejam to?"
"Iya."
"Sejam buat belajar ngaji. Syukur-syukur ngajari keluarganya kalau udah bisa. Waktumu pagi sampai malem full seminggu masa mau kerja aja?"
"Ndak, mbak. Hidup kan cuma sementara. Aku butuh 'sangu'."
....
Kecedasan seorang asisten rumah tangga kadang mengalahkan yang punya jabatan tinggi atau rentetan gelar, hanya karena budi pekerti yang tumbuh dan satunya dibiarkan kerdil karena pencapaian dunia penuh ego-diri. Definisi cerdas di sini berdasarkan Memeriksai 'Alam Kebenaran oleh H.O.S. Tjokroaminoto.
(psst, cerita ini ditulis dengan segala sensor dari masalah sebenarnya, tanpa mengurangi makna di dalamnya.)

Selamat berpikir! Semoga kita semua semakin cerdas. ^^

Senin, 06 Januari 2020

Main Metafora: Indomie

Ketertarikan itu bagai bau indomie di tengah malam,
uapnya mengepul, menari-nari, memanggil lebih nyaring daripada tetes hujan di luar sana,
terhirup menjadi pemicu kerusuhan antara perasaan dan pikiran,
....
mau makan kok pas diet,
ini pas diet kok pengen makan.
...
Selama itu hanya bisa diendus,
ketertarikan itu wacana.
Kalau sudah bisa membatalkan diet..
itu baru realisasi!
Terimalah indomie itu dengan kurang lebihnya.
"Alhamdulillah, enak... astaghfirullah, aku nggak kurus-kurus.."
...
#imajinasisudahmenjadibubur
#mainkata
#maugalauapadayaketawa