Kamis, 20 Juni 2019

Kata Siapa Riset Tidak Mempengaruhi Pola Pikir Seseorang?


Pasti nak kanak kuantitatif dan positivist njawab,”Sayaaa!”
Wkwkwk
Jadi, pada suatu hari, di penghujung hari yang melelahkan jiwa raga menghadapi manusia dengan kepribadian berbeda (mulai jam 7 pagi kepanitiaan sampai ngajar, kepanitiaan lagi, ngajar lagi, bimbing skripsi, lanjut bimbing PKM sampai jam 7 malam nonstop dan setelah itu masih ditunggu kegiatan di lingkungan rumah), emosiku tak terkontrol lagi. Mungkin karena tekanan kanan kiri oke, sakit lahir batin datang bulan, ditambah bumbu pernyataan kurang bersahabat, kekecewaan dan kurang empatinya sekitar, untuk yang pertama kalinya aku marah. Aku tidak sabar dengan cara yang tidak elegan. Pernyataan,”Bu ela, semangat bu..” tidak berhasil meredam panas dalam hamba di kelas.
Saat sesi terakhir, pembimbingan PKM, entah menyimpulkan dari gerak gerik ibunya yang aneh atau ia sudah dengar dari anak kelas sebelumnya, ia bertanya. Menohok.
“Bu Ela, dapat berapa (Rupiah) kok dibela-belain sampai lembur gini, banyak ya bu?”
Aku ketawa dan menyebut tarif honorarium bimbingan skripsi per semester, karena sebelumnya dia menyaksikan ibunya membimbing kakak-kakaknya skripsi dengan yaaa…agak nggak sabar kayak biasanya.
“HAH? Terus ibu kenapa masih terus malem-malem gini?”
“Kewajiban moral saya mungkin,” aku tersenyum sambil mikir semoga anakku tidak mengganggap idealisku adalah bahan lelucon.
“Hweee..kan  itu rugi, bu. Dapet segitu, bu ela capek sampai lembur-lembur.”
“Itu kan secara materi. Tapi saya aslinya untung. Dapat pahala.”
“…”
“Kalau kamu nggak percaya saya untung, coba temuin malaikat yang sedang bertugas mencatat amalan saya. Tanya sana, saya banyakan dosanya apa amal baiknya.”
Ketiga anak yang ada di kelas tertawa.
“Bu ela ajarin saya pake aplikasi ini, bu. Ayolah bu, nanti saya janji ajarin yang lain, biar bu ela pahalanya tambah banyak kalo ilmunya mengalir.”
Ya Gusti Maha Pembolak Balik Hati, mood-ku yang anjlok seharian tiba-tiba kembali. Anak ini sedang berjuang menunjukkan kepada dunia bahwa kecerdasaan intelektual tanpa adanya emosional dan spiritual adalah percuma. Ia sedang berjuang melawan blok pikirannya sendiri bahwa berfikir out-of-gedebog itu bukan kesalahan dan keanehan, tapi keluwesan dan jalan menuju-Nya. Ia sedang melawan persepsi orang sekitar bahwa semuanya harus serba terukur. Ia sedang belajar menulis keluar dari paradigma itu-itu aja. Kalaupun ia kalah melawan kekakuan justifikasi positivist, ia tetap menang di hati ibunya. Ia menang melawan pola pikir sekitarnya dan seusianya. Ia justru adalah bukti dari apa yang ia tulis, yang orang-orang ragukan. Ia melampaui apa yang anak akuntansi bisa hitung, pendapatan – beban = laba/rugi.

Aku dan anakku, kepada siapa hatiku dan ilmuku kuwariskan.
Madiun, 19 Juni 2019

Senin, 17 Juni 2019

Nerimo


Seorang gadis menatap pembicara yang menurutnya cantik dan cerdas dari kejauhan. Saat itu, si gadis menyaksikan tayangan video yang kata si pembicara harus direnungkan. Video itu bercerita soal wawancara pedagang kecil yang menyatakan “ikhlas” saat dagangannya tidak laku. Saat itu, merupakan sebuah hal yang sulit untuk mengolah makna di balik tayangan wawancara “ikhlas” itu. Pikirnya,”Kan emang sudah rezekinya segitu sebagai pedagang kecil, ya udah ikhlas aja. Apa salahnya?”
Ternyata itu salah. Kemudian sang pembicara menyatakan bahwa yang katanya “rezeki” itu bisa jadi buah dari Political Economic of Accounting (PEA). Kemana keberpihakan si pemilik kuasa, ya ke arah itulah “rezeki” itu akan mengalir. Saat itu ada quote yang bagus sekali diutarakan oleh sang pembicara, “Ikhlas atau nerimo itu adalah pasrah menerima ketetapanNya tapi tidak menyerah begitu saja.” Kitra-kira begitu. Sampai saat ini si gadis masih belum mengingat kalimat pasti dan asal muasalnya.
Malam ini ingatan itu terungkit karena kata “ikhlas” yang salah penempatan bahkan sering digunakan orang untuk menyakiti orang lain. “Saya ikhlas dihina karena saya memang menyebalkan.” Atau “Saya ikhlas disingkirkan lhawong saya memang bukan siapa-siapa.” Ke-bukan-siapa-siapa-an itu harusnya ketundukan kepada Sang Pencipta, bukan justifikasi kesewenangan atau alasan tidak mau berusaha. Entah kenapa potongan ingatan itu membakar semangat gadis itu untuk menemukan kebebasan dan cinta sejati. Untuk Kembali.

Dalam air mata perlawanan,
Madiun, 17-6-2019