Selasa, 12 Juni 2018

Setahun Surya Tenggelam


Madiun, 9 Juni 2018

Entah kenapa hari ini aku lebih banyak bahagia daripada kudu mbrebesnya. Bahkan ketika ada tetangga bilang, "Yang sabar ya~" aku hanya mengangguk dengan ekspresi ceria. Maha Besar Allah.

Aku percaya mama sudah terbebas dari rasa sakit. Yang mama butuhkan adalah doa putrinya di balik segala kerempongan peringatan 1 tahun. Mungkin karena ini aku tak melulu bersedih. Sehari sebelum peringatan, jariku berjodoh memencet channel tv yang menayangkan ceramah ustadz Abdul Solmad. Beliau mendapat pertanyaan tentang anak yang ditinggal mati bapak ibunya. Jawabnya adalah,"Jangan sedih. Rasulullah adalah anak yatim. Mungkin Allah ingin menaikkan derajat seseorang dengan menjadikannya anak yatim (piatu)."

Akupun ge-er dengan ucapan ustadz, "Ah masa iya aku yang biasa ini termasuk anak terpilih?" Padahal pengennya memang diiyain. Hamba hanyalah cewek yang ingin konfirmasi ya Allah. Ampun~ :'))

Pada saat proses packing makanan untuk dibagikan ke tetangga, alhamdulillah semua bahagia. Padahal hari itu hectic, tapi aku masih bisa bercanda dengan mbak rewang, sampai ngelawak di percakapan daring. Tidak ada baper untuk hal yang tidak penting. Tetangga juga bilang suka, terima kasih, sampai menunjukkan wajah haru saat bertemu di musholla untuk tarawih. Kalau sudah begini, aku harap bukan aku saja yang bahagia, tapi mama juga.

Betapa aku merasa perhatian kepada orang tua itu sangat berharga. Bukan seberapa mewah kau memberi hadiah kepada mereka, tapi seberapa dalam makna pemberianmu menurut mereka. Itu dua hal yang berbeda antara mewah menurut harga dan mewah berdasarkan makna. Banyak anak salah sangka, kekayaan akan membahagiakan karena visualisasinya bagus sampai ada yang rela berbohong demi pengakuan. Padahal hal sederhana asal mengena itu sudah cukup untuk hadiah.

-----------------------------------------

Oiya, belum cukup berjodoh dengan tausiyah ustadz, ada postingan terkait yang berjodoh pula dengan jariku. Postingan itu menceritakan saat-saat terakhir Nabi Muhammad. Beliau meninggal setelah sempat demam tinggi di pangkuan Aisyah. Putri Nabi, Fatimah, menerima wasiat dengan cara dibisiki yang kira-kira adalah sebagai berikut,"Aku punya dua kabar. Yang pertama, aku akan meninggalkan dunia ini. Yang kedua, sepertinya kau yang menyusul pertama kali di keluarga ini." Fatimah diceritakan berekspresi sedih, lalu bahagia.

Makdeg!

Aku mbrebes, ingat papa. Dalam satu kesempatan di RS, papa ngedrop. Saat itu hanya ada aku dan papa. Mama sudah berpulang. Papa menangis di tengah rasa sakitnya, mungkin juga karena rindu mama,"Terima kasih nak, kamu sudah ngrawat papa. Kamu baik. Kamu sama papa sama mama kumpul di surga ya nak. Kita ketemu di sana ya.."

"Iya, papa. Inshaallah.."kataku pada saat itu tercekat.

Karena kalimat itu, aku tau tujuan hidupku. Aku berjanji bertemu mama papa di surga. Pertama, aku harus menyelamatkan mereka dari api neraka, memohon ampunan dan melakukan kebaikan di dunia dengan harapan mama dan papa selamat di sana. Maknanya, orang tua yang mengajariku berbuat baik, jika aku patuh tetap melaksanakan itu, kuharap hal itu masuk kategori "ilmu yang mengalir". Kedua, aku yang mencari surga. Karena ridha suami adalah surganya istri, maka menemukan calon pendamping yang sevisimisi adalah kunci. Bukan seberapa cepat aku menemukan, tapi seberapa tepat aku dipertemukan. Suami sesat akan mengajak istri ke neraka. Suami pembohong akan mengajari istri untuk jadi jamaah dramanya. Suami utilitarian akan mengajari istri untuk memanfaatkan dan menjegal orang lain, tak peduli saudara. Buktinya, ada suami ngebom ngajak anak istri. Kan menakutkan ya.. Instead of laki-laki baik untuk wanita baik. Mungkin dari sononya, si wanita sudah ada sifat radikal bebas, jadi ga dapat suami yang antioksidan. #lah #tepokjidatpaklurah



Yaudah sih, ngocehnya gitu aja. Maaf kalo bikin perasaan campur aduk, ketawa nangis ketawa lagi. Yang penting gitunya pas lihat postingan, bukan dengan pandangan kosong. :))

Minggu, 15 April 2018

Jam Pasir


“Hidup tinggal beberapa hari saja, masih kebanyakan permintaan.”
Kira-kira begitu kalimat kurang ajar yang kudengar hari ini. Bukan kalimat sinetron. Bukan pula orang berlatih drama.
Kalimat ini lebih jahat daripada vonis seorang dokter kepada pasiennya tentang usia tinggal setahun.
Betapa ekspektasian dan kalimat prediksi itu jahat. Dalam olah rasa mendalam, rasakan yang mengucapkan kalimat itu ingin mengalahkan Tuhan yang tau segalanya.
Jahatnya bukan main, tidak sekedar pengharapan ala remaja,”aku berekspektasi kau mencintaiku, dan nyatanya tidak.”
Betapa ekspektasian itu jahat. Terlalu berorientasi ke masa depan, terstruktur dan kaku membuat kita tidak menyadari adanya masa kini. Sekarang. Menikmati dan mensyukuri bahwa sekarang kita masih ada dan diberi kesempatan berbuat baik.
Betapa ekspektasian itu tega. Jika setiap orang sudah tau masa depannya, sudah tau kontraknya selesai kapan, tidak akan usaha di waktu sekarang. Antara dia menyombong layaknya Sang Pemilik Waktu atau dia akan menyerah. Ah, cepat atau lambat kan bakal mati. Justru sombong dan menyerahnya orang inilah yang disebut “kelumpuhan”.