Minggu, 22 Maret 2020

Kau dan Corona

Hohoho, tidak.. aku tak ingin menggombal.. persamaan seseorang dengan virus. Harusnya kan aku yang digombali.. #loh :'))
...
Sudah sekitar 2 minggu dari munculnya kasus pertama positif Corona di eks Karesidenan Madiun.
Menjaga jarak dengan yang lain, tapi bukan berarti hatiku juga berjarak. Aku cuma tidak tahan...untuk menulis dan melukis realitas.
Sesiangan aku memutari kota lengkap dengan masker kain untuk berbelanja, sebelum yaaa kembali mengurung diri di rumah.
Lalu lintas di hari minggu sungguh lengang, tak seramai biasanya. Ada bus yang menepi, kernet dan kondekturnya tampak kebingungan di trotoar, mungkin ada setoran yang tak terkejar (lagi) hari ini.
Dua orang berjaket Gojek tanpa penumpang sedang bercakap sambil menunggu lampu hijau. Imajinasiku berkata yang satu bertanya tips pada yang satunya, bagaimana mendapat orderan di masa sulit ini.
Pasar-pasar mulai sepi. Hewan yang dikurung di lapak para pedagang mungkin bertanya-tanya, “Apakah manusia mulai meniruku?”
Beberapa pedagang kecil masih nekat buka, dan beberapa orang termasuk aku masih membelinya. “Gimana ya kalau orang-orang sudah tak mau keluar rumah lagi? Mereka makan apa? Apa mereka punya tabungan untuk masa-masa sulit seperti ini?” batinku. Ada yang tersenyum senang karena mungkin aku pembeli pertamanya di siang hari itu.
Pegawai pom bensin yang memberikan kembalian kepadaku tampak bergegas dan tak ingin menyentuh jariku. Aku hanya bisa berkata dalam hati,”Percuma mas, kalo sampeyan atau saya atau pemilik uang kertas sebelumnya bawa virus, sudah menjalar lewat uang itu.. tanpa bersentuhan antarjari pun bisa..”
Seorang wanita yang mengantri di ATM tampak menggunakan plastik kiloan untuk melindungi tangannya memencet tombol-tombol angka itu. Aku penasaran dengan caranya mencopot plastik itu nanti, apakah diinjak dengan alas kakinya atau bagaimana?
Sebuah tulisan di kaca apotek terpampang “Masker dan Hand Sanitizer Habis” menyambutku, seolah sudah jengah menghadapi beribu orang berduyun-duyun keluar masuk hanya untuk menanyakan hal itu.
Toko yang agak besar menyediakan wastafel dadakan untuk cuci tangan, pegawainya pun sudah memakai masker meskipun ada beberapa yang memelorotkannya saat ingin bercanda penuh totalitas dengan kawannya, atau menyeka keringat karena panasnya toko.
Aku menatap trotoar dimana aku biasa menggandeng gadis kecil pulang dari sekolah, tapi sekarang tak satupun kehidupan kujumpai di area itu. Terpikirkan kawan-kawanku dan astagaaa, sejak kapan aku tidak bersyukur kebersamaan yang menyenangkan itu, kenapa baru terasa sekarang? Kadang mencari bukti itu bukan sesuatu yang tampak, tapi dari sesuatu yang seharusnya ada tapi tidak ada. Kata buah pikir Aoyama Gosho melalui tokohnya, Conan. Atau bahasa akuntansinya… kehilangan itu kerasa belakangan, kalau di depan namanya down payment. Heuheu.. Ketawa, dong. Ayolah, demi sistem imun. :’))
Lamunan itu terus membersamai sampai aku tiba di depan rumah lagi, dan terhenyak ketika ada yang berkelakar satir,”OPO??? KERJA DI RUMAH??? KAPOK! AKU KAN BUKAN ORANG KANTORAN, NGGAK NGEFEK. HAHAHA” Dari sudut mataku, kumelihat ia menyambut beberapa orang tamu di rumahnya. Deg! Maknanya kerja dari rumah kan bukan kumpul-kumpul sambil kerja di rumah.
Aku masih punya pilihan, di kantor atau di rumah, hand sanitizer atau sabun cuci tangan, masker medis atau masker kain, masak sendiri atau beli. Bagaimana dengan mereka yang tidak punya pilihan? Tak punya pilihan untuk menghidupi diri atau mengedukasi diri.
Aku juga teringat adikku, kakak sepupuku yang berprofesi sebagai dokter. Mereka tidak punya pilihan selain mengahadapi resiko demi kemanusiaan, rahmatan lil alamin..
Aku sendiri tak pernah membayangkan akan menghadapi ini, sendiri (jika aku menghitung jumlah jiwa dalam rumahku) jikalau terjadi hal paling buruk. Atau pilihan kedua adalah, menghadapi ini sebagai umat, yaitu memandang aku sebagai kita, jadi membayangkan yang terburuk yang dihadapi orang lain, bangsa, atau lebih masif lagi..peradaban.

Kau... apa pilihanmu? Apa solusimu bagi mereka yang tak punya pilihan? Masa darurat corona oleh pemerintah Indonesia diperpanjang hingga 29 Mei 2020.