Minggu, 02 Februari 2020

Rumput di Halamanku Memang Lebih Hijau!

Saat itu petang sudah menguasai langit kota dimana aku menuntut ilmu. Sesama anak kos berkumpul untuk menceritakan pengalaman di kampus sesiangan, maklum beda fakultas. Beda ilmu, budaya, termasuk jam makan. Hehe.
Aku mengaduk mie instan yang baru matang di depanku, ketika tiba-tiba temanku nyeplos, "Aku pegel mbek awakmu! (Aku sebel sama kamu!)."
"Lho lapo? (Lha kenapa?)," kataku bertanya karena tidak merasa berbuat sesuatu yang menyakitkan orang lain.
"Lha kamu tu kalo maem kelihatannya enak banget. Aku kan jadi laper lagi. Nyebelin."
Glek! Padahal ini makan malamku. Satu-satunya asupanku malam ini.
"Lho ayo ta, maem bareng?" kataku menawarkan.
"Aku udah maem barusan," katanya sambil melirik piringku.

Jadi, aku yang salah atau persepsinya yang salah? Jadi, cara makanku yang salah atau ketertarikannya yang salah? Ini aku atau dia yang harusnya tersinggung? Aku yang terlalu menikmati hidupku atau dia yang kurang bersyukur? Oh aku selama ini biasa-biasa aja, orang lain melihatnya luar biasa? Oh aku bisa gitu yaa..
Kukunyah mie goreng dengan perlahan sambil memikirkan perspektif orang.

"Tuh kan! Sebel!" ujar temanku memalingkan muka.

Oh, ini mienya yang salah! Batinku tak mau berlelah diri. Biarlah lakuku menunjukkan tanpa harus menagar "always alhamdulillah". Nikmat itu relatif, kalau sederhana tapi bersyukur ternyata bisa kelihatan mewah juga.

Refleksifitasku kini, tentu merepotkan menjawab satu per satu dugaan manusia. Waktu terus berjalan, akan ada banyak perjuangan. Budi pekerti tak dapat tumbuh di dalam kubangan kebendaan. Man robbuka? tak mungkin dijawab "mie goreng", "uang", atau "udahlah, malaikat..kita kan fren. Nggak usah jawab nggak papa ya?" karena kita fokus kepada yang terlihat enak pada orang lain. Tapi nggak sadar atau tak pernah lihat lebihnya diri.
Huhu.

*Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji (Sosrokartono)*