Kamis, 12 November 2015

Tulisan Gadis Penyusup: Deskonstruksi Makna Profit

PROFIT

oleh:
Elana Era Yusdita


"ini tugasku saat sit in di kelas Kapita Selekta beberapa minggu yang lalu. Simpel saja, berdzikirlah..dan maknai profit. Kamu harus melepaskan makna profit yang sudah merajalela di buku, jurnal, aturan. Makanya, aku bilang di awal, kalo definisi yang kuciptakan ini dibuat sebelum membaca materi yang diberi pakprof. Sebagai penjelas bahwa aku punya pandanganku sendiri dan nggak gampang goyah. Etapi, kalo kamu mau menggoyahkan hatiku, silakan loh ya.. *diuyel-uyel* *ngakak*"

Tulisan ini adalah hasil renungan saya, sebelum membaca jurnal untuk materi kuliah tentang profit.
Profit.. nilai tambah bagi dari apa yang kita dapatkan, dari apa yang kita keluarkan. Lupakan soal materi dulu, saya ingin bicara soal hati, perasaan. Profit dapat berupa perasaan, seperti puas, ikut senang ketika melihat orang lain juga bahagia. Semua rasa itu adalah sesuatu yang ditangkap oleh perasaan kita, misalnya karena kita ikut senang melihat pelanggan senang saat membeli dagangan kita. Senang dan ikut senang.
Sekarang saya bertanya pada diri saya sendiri, jika orang lain mendapatkan sesuatu yang saya inginkan, sedangkan saya tidak, lalu orang tersebut bahagia, apakah saya juga ikut senang? Dia senang, tapi saya tidak. Di mana profitnya? Saya merasakannya sebagai, “jika sesuatu itu buruk substansinya bagi saya, meskipun menurut orang lain itu bagus, Allah menyayangi saya dengan menjauhkan hal tersebut. Tuhan Maha Tau, sedangkan pengetahuan saya masih seperti debu, tak berarti dan amat terbatas.” Saya akan tetap merasa mendapat profit. Profit saya ya diselamatkan dari hal buruk dan telah diberi kesempatan untuk belajar.
Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, bagaimana jika orang lain tertawa di atas penderitaan saya? Kan dianya bahagia, saya sedih. Jika dimetaforakan, dia mendapat untung, sedangkan saya rugi. Kembali lagi ke olah rasa saya di atas, kehidupan adalah buku pelajaran raksasa. Misalkan, saya digunjingkan, maka sebenarnya sedang untung, karena menurut hadist, saya sedang menerima pasokan pahala dari mereka yang sedang menggunjing. Jadi ya, seharusnya saya doakan dia rajin beribadah, tapi hentikan gunjingannya, karena “profit”nya menipis setelah ditransfer ke saya. Kasihan. Hehehe.
Lalu saya merasa, “Lho, saya masih merasa kasihan?” Wah, itu profit tambahan buat saya. Alhamdulillah.. :D

Dari renungan saya itu saya mengambil kesimpulan, bahwa profit adalah segala sesuatu yang membuat kita “mati”, menuju kepada-Nya. Apapun bentuknya, baik yang tampak (misalnya harta) dan yang tak tampak (misalnya kebahagiaan), asal kita mengingat Tuhan di dalamnya, kita mendapatkan keuntungan. Manusia yang mengingat Tuhan, tak mungkin mencederai fisik dan perasaan sesama ciptaan-Nya. Dengan segala yang ia peroleh, ia bersyukur. Tidak perlu saingan memaksimalkan “profit” untuk sesuatu yang sebenarnya sudah (di)cukup(kan). ;)

"statusku mahasiswa konsentrasi akuntansi bisnis. TAPI KOK NGERTI BEGINIANNN?? kan bisnis ala kapitalis. Mwahaha.. aku sit in ndak sengaja, tapi kulanjutkan untuk tiga tujuan: (1) pengen tau, (2) mendengarkan komentar sang pakar tentang syariah yang sekarang banyak dibisnisin (baca: dijadiin cap doang), (3) memberi pelajaran pada yang lain bahwa jangan menilai jiwa seseorang dari apa yang tampak, substance over form! *ketawa jahil di pojokan*"