Sabtu, 28 September 2013

Di Antara Aku dan Senja

15.40

Terlalu siang untuk menyaksikan senja. Aku mencoba memanjat seperti dahulu hingga badanku sejajar dengan atap rumah. Saat itu hanya ada tumpukan kayu, kawat, seng, dan apalah itu di antara diriku dan langit barat.

Sekarang, meskipun aku duduk di tempat yang sama, tidak ada yang bisa kunikmati. Hanya terdengar tawa miris. Dariku. Untukku.

Di tempat ini, biasanya aku membiarkan beban dan masalah terbang dibawa angin sore. Aku bertahan walau menggigil. Tak ada penghalang, hanya atap bernama langit keemasan. Liuk daun di selatan, atap rumah sejauh mata memandang, bulan bintang silver milik masjid di belakang rumah, teriakan anak-anak yang bermain, kadang layang-layang menyapaku dengan luwesnya. Sederhana, tak semenawan pantai, namun aku suka. Sederhana. Simbol dari kebebasan dan kebesaran Tuhan.

Aku rindu menghilang dari bumi dan bersila di atap. Saat itu, aku memang sering dikira hilang, karena asyik melamun di atas. :D
Hanya adzan Maghrib yang memaksaku turun. Setengah jam atau lima belas menit cukup membuatku puas. Ah, tidak... lebih tepatnya lega.

Oh iya, ada sedikit siluet gunung dari kejauhan. Tapi sampai detik ini, aku masih belum tau pasti apa namanya. Aku hanya berkenalan dengan keelokannya, jika awan cukup baik, menyingkir sejenak saat mentari ingin melenyapkan dirinya.
Awan.
Mentari.
Langit.
Dedaunan.
Mereka sangat baik, membuatku tersenyum, mendengar keluhanku, mengamini doaku, menemaniku menulis.

Tak ada meja atau alas menulis. Hanya kuketik di telepon genggam. Tidak jarang, langsung kujadikan catatan di salah satu jejaring sosial, dimana aku menambah derajat senyum dengan membaca komentar para sahabat.

Mereka saksi kisah-kisahku. Yang tersabar.

Senja. Beribu kenangan.
Kini hanya ada tembok di antara aku dan senja. Setahun sudah tak menjumpainya.

Senja sore ini, apa kabarmu? Masih tetap indah?
Masih ingat dengan gadis ini, yang menggigil dan tak takut menghitam demi menyaksikanmu? Hahaha.



15.43

Aku menyerah. Kembali ke bumi. Setidaknya kenangan itu akan abadi ketika kutuangkan dalam tulisan.
Mereka tak menghilang, akupun begitu. Tak akan pernah hilang. :)

Kamis, 26 September 2013

Sudah Zamannya

Sudah zamannya...
manusia mengagung-agungkan salah satu atribut kebaikan sekaligus melakukan yang tercela lainnya dengan senang hati.
...membuat segalanya susah karena dirinya sendiri, padahal ada solusi mudah di depan mata.
...menoleransi yang salah dan mencibir yang benar.
...berakting sok apalah itu, padahal main trik dan intrik ala sinetron kejar tayang.
...ditanya, malah jawabannya penuh pertanyaan.
...berbicara, tapi isinya naskah drama.
...sok gagal paham, agar orang memahaminya begitu.
...yang tegas dan jujur dianggap jahat, yang menawan aktingnya itu yang "baik".

Yap, baru saja kulihat wajah marah-marah yang sama, seperti aku, beberapa tahun lalu.

Rasanya...
ingin menunjuk-nunjuk wajah orang tanpa memperdulikan kadar keeleganan,
tapi saat itu cuma bisa diam.

Karena pemimpinnya diam.
Yang lain diam.
Dan sisanya mendukung hal-hal di atas.
Dan pelakunya main air mata.

Sudah zamannya ya? :)