Senin, 26 Juni 2017

Berhala Gaya Baru: Menyembah Ego

Ujian kehidupan itu tak mesti yang tampak nyata atau hadir pada tema besarnya. Ada hal-hal yang kita pikir “wajar”, tapi Yang Satu mulai diduakan.

Mamaku pergi untuk selamanya. Lebih dari kehilangan sosok mama jasmaniyah, aku sempat trauma pada detik-detik mama dicabut nyawanya. Saat memori itu lewat, nyawaku tercerabut. Setiap pagi aku menangis, semakin keras saat orang-orang ingin tau cerita detilnya saat takziah. Aku mati rasa atas hingar bingar Lebaran. Setiap dari kita pasti pernah patah hati. Rasanya kali ini, milyaran kali lebih menyakitkan.

Patah hatiku mengganda saat melihat papa berteriak histeris saat mengenang mama. Kupahami, mereka lebih dari sepasang suami-istri, mereka rekan seperjuangan, kakak dan adik yang saling memanjakan dan menjaga, teman belajar otodidak, cinta pertama dan terakhir. Papa merasa karenanyalah, kesehatan mama memburuk, yaitu saat papa ditakdirkan menjalani kemoterapi. Kenyataannya adalah, tanpa papa ketahui, tahun lalu mama pernah bersumpah nyawanya seperti dicabut saat papa sakit. Di sinilah isak tangisku muncul lagi dan lagi karena pada waktu dan tempat yang berbeda, keduanya saling menyatakan cinta dan sayang melalui diriku. Keduanya saling jaga, saling rindu. Kehilangan salah satunya, aku seperti dipukul mundur, lebih baik mengurung diri atau menyibukkan diri sampai aku lupa kenapa aku harus bersedih.

Aku di sudut hatiku yang paling dalam mengajukan protes kepada Tuhan, kenapa mama diambil sebelum aku bisa memberikan sesuatu yang berarti, kenapa aku tak diizinkan terlebih dahulu minta maaf sebanyak-banyaknya, kenapa aku tak diizinkan menikah dengan mama di sampingku atau setidaknya mama mengenal calon mantunya, kenapa aku tak diizinkan menyandang gelar Doktor..kenapa... Keadaan semakin parah karena aku tau mama adalah wanita sederhana dengan segudang cita-cita. Aku terus menangisi kesempatan-kesempatan yang tidak diperoleh mama. Aku yang ekstrovert berubah menjadi introvert, malas berbicara. Tapi lagi-lagi, menjelang subuh, aku kembali menangis dan mengomel. Tuhan kali ini mengizinkan adik mama satu-satunya untuk tinggal beberapa hari bersamaku. Ohya, aku hanya tinggal berempat di kota kecil ini: mama, papa, aku, dan kakak. Seandainya tidak ada orang terdekat yang kuajak bicara selama beberapa hari semenjak mama tiada, mungkin “ela”-lah yang tiada. Biasanya mama yang mendengarkan ceritaku, segalanya.
Lukaku masih belum sembuh benar saat tante harus pulang. Kini aku sendirian harus menjaga dan membesarkan hati papa. Kami menangis berdua saat tamu menanyakan cerita itu lagi. Kami menangis saat kami tidak sengaja memanggil mama saat kami tak bisa melepaskan kebiasaan pamit atau mengajak semua anggota keluarga untuk melakukan suatu hal bersama-sama.

Sampai suatu saat..
Aku merenung dan bertanya darimana datangnya kesedihan ini.

Aku adalah orang mengikuti kondisi kesehatan mama, tau betapa sakitnya mama pada saat terakhir dan betapa lemah kondisi mama setahun terakhir. Mama meninggal layaknya orang tertidur, cantik. Saat menatap jenazah mama, aku membayangkan mama yang terbebas dari tubuh renta dan segala rasa sakit itu. Mama selalu menahan sakit itu sendirian, sebelum mau bercerita kepada orang lain. Ketika ada kalimat ucapan duka cita yang bilang “Allah sayang mamanya Ela”, aku mengartikannya sebagai pembebasan dari segala sakit duniawi. Anak macam apa yang tega melihat orang tuanya kesakitan? Jika pengobatan dan doa adalah cara mencapai kesembuhan, bagaimana jika dicabutnya nyawa adalah cara satu-satunya mengakhiri rasa sakit? Mahluk macam apa yang menentang keputusan Tuhannya? Dan aku.. Aku ingin menunda lepasnya nyawa dan badan karena pencapaian-pencapaian dunia yang ingin kutunjukkan pada mama. Aku yang menginginkan mama masih di sini karena aku ingin melihat wujudnya mendampingiku, tanpa mengetahui penderitaan macam apa mungkin disimpan mama. Semua itu soal egoku, (mungkin juga) ego mama. Aku berusaha menawar, menentang, mempertanyakan keputusan Tuhan, karena ego. Seolah ego lebih tinggi derajatnya daripada Tuhan.
Pada saat mama tiada, aku baru mengetahui betapa mama bangga atas pencapaianku selama ini, betapa mama baik kepada sesama dari pendapat orang lain. Kusangka mama belum begitu puas, ternyata mama bangga. Dapat kusimpulkan, umur memang terbatas, kebutuhan pencapaian duniawi jika dituruti jadinya memabukkan, namun amal dan perbuatan akan dikenang.
Diambilnya mama dari dunia adalah takdir, kewajibanku kini adalah menyelamatkan mama dari sempitnya kubur, serta menjaga papa layaknya mama. Egoku harus diselesaikan melalui perjuangan. Ego mama harus dituntaskan melalui mengalirnya nilai-nilai kebaikan dari mama untukku, dan untuk semesta. Ada alasan kenapa seorang Cahaya lahir dari rahim Matahari. Semoga Allah merestui perjuanganku.
Aamiin.


Dalam kenangan tak terbatas,

Mama, Suryaku, Suryaningsih.