Jumat, 10 November 2017

KepadaNya Kita Kembali

Sebuah kalimat yang sering kita dengar tapi sangat berat untuk dihadapi adalah,"Semua adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya. Ada pertemuan, maka ada perpisahan."

Masing-masing dari kita -mayoritas- mengaitkannya dengan masalah cinta antara laki-laki dan perempuan. Jarang yang menyentuh hubungan anak dan orang tua. Tidak, bukannya aku meremehkan perkara jodoh, tapi cinta pertama setiap anak adalah orang tuanya sebelum "diminta" orang. :)

Anak bertemu ibunya pada saat dihembuskannya nyawa pada janin di kandungan, sedangkan anak baru menyadari ayahnya pada saat adzan dikumandangkan di telinga mungilnya. Itu titik temunya. Bagaimana dengan titik pisahnya? Beberapa anak ditakdirkan kehilangan orang tuanya di dunia karena meninggal dunia, sebagian lagi si anaklah yang ditakdirkan meninggalkan orang tuanya duluan.
Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan begitu banyak berita bayi dibuang, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Pada saat itu, keadaan saya masih berduka dan kangen mama (almh). Betapa saya merasa kehidupan tidak adil karena saya kehilangan sosok yang setiap hari saya ajak ngobrol, meminta nasihat, dan berbagi cerita di rumah. Saat melihat berita bayi dibuang itu seketika saya merasa betapa beruntungnya saya karena ada rentang waktu 28 tahun yang diisi penuh kasih sayang bersama mama. Betapa sedihnya saat membayangkan saya menjadi si bayi di berita itu yang tak sempat mengenal orang tuanya, apalagi melewati hari-hari penuh kasih sayang. Jangankan diwarisi cinta, diinginkan saja tidak. :')
Sebelum ngoceh di blog, saya coba menceritakan hasil olah rasa ini ke papa. Kami menangis bersama, mungkin karena kami sama-sama rindu mama, dan sebagian lagi hati kami masih takut akan perpisahan. Papa sebegitu takutnya meninggalkan saya sendirian karena sakit. Tidak jauh berbeda dengan saya, yang takut sendirian menghadapi dunia tanpa orang tua. Kami menangis.
Saat saya bilang saya adalah anak yang beruntung karena diberi waktu untuk mengenal kasih sayang dari orang tua. Papa bilang dia juga beruntung dapat dirawat putrinya saat sakit. Tak ada waktu yang tepat untuk berpisah,saya mengajak papa melewatkan sisa waktu yang entah sampai kapan dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada kekhawatiran soal esok karena kita semua pasti kembali kepadaNya.

Sedangkan, di sisi yang berkebalikan, saya merasa lucu ketika ada yang nyeletuk "mati aku" saat dihadapkan pada ujian kelas. Settingan soal ujian yang dibuat manusia, bukan ujian yang sesungguhnya. Terlalu menggampangkan kematian, eh? :)


RSI Siti Aisyah Madiun, di salah satu pertempuran papa.