Selasa, 31 Desember 2019

23.23

Dua tiga dua tiga
Kapan atau dimana satu, aku tak tau
Suatu yang ganjil butuh digenapkan segera
Tapi yang digenapkan harus mengingat Yang Satu

Adalah salah selalu mengutamakan aku atau kamu
Ada keyakinan yang mengikat kepada Yang Satu
Aku dan kamu itu harusnya kita sebagai ummat
Tiangnya menuju Yang Satu adalah janji yang mengikat

Satu tak terlihat olehku
Ia berupa frekuensi satu-satu-satu
Sebelas kali
Ku membaca bunyi

Dua tiga
Satu
Satu

...hasil "membaca" Tarikh Agama Islam - H.O.S. Tjokroaminoto dan Membongkar Tiga Rahasia - Agus Mustofa...
biasanya angka jam kembar semacam 23.23 yang dilihat secara tidak sengaja diartikan sedang ada yang merindukan kita. Daripada berpikir tentang "diri sendiri", kenapa tidak merefleksikan ke hal yang lebih luas? :)
#Zelfbestuur #Aksi

Senin, 09 Desember 2019

Detik Detik Lampu Merah

Tanpa bayang sehelai daunpun,
di tengah hiruk pikuk kota jelang malam,
hanya jajaran bangku pinggir jalan,
dengan tembok cerah ceria berbunga-bunga.
Seorang model wanita meliukkan tubuhnya,
bersedia dipotret entah untuk pameran apa atau apa yang ingin dipamerkan,
sepasang anak lelaki dan ibunya berhadapan berbincang dari hati ke hati seolah mereka baru dapat kesempatan berbincang,
sebaliknya sepasang muda mudi tampak terdiam bersebelahan seolah tak tau apa yang ingin diucap karena langit sudah menggambarkan betapa merah jambu perasaan masing-masing,
seorang petugas parkir sibuk mengatur motor agar cukup baginya selembar dua lembar lagi dua ribu masuk padanya.
...
Tak akan ada kesimpulan yang dapat ditarik karena keunikan individu.
Lewat paradigma apa, saya mencipta tulisan barusan ya?
#soalcaramemandang
#merisetituasik
Hihi, kok jadi gini.

Kamis, 12 September 2019

Yatim Piatu

Olah rasa siang ini. Saat air mata ingin menetes di keramaian..
...
Menjelang 1 Muharram, aku dan teman-teman menghadiri istighosah oleh institusi. Aku dasarnya yang pethakilan langsung menyodorkan kepalaku ke arah teman-teman wanita saat mendengar,"Pas Suro ada anjuran mengusap kepala anak yatim........"
Kontan aja, nggak kredit ya wkwk, teman-teman langsung tertawa dan mengusap dengan kekuatan lebih. Bisa dibilang melampiaskan dendam, alias lebih ke kudu ngeplak daripada keberkahan dari Gusti Allah. Hahaha.
...
Beberapa hari lalu saat ada pendataan anak yatim dari pemerintah melalui RT, Bu RT sibuk meminta data anak yatim melalui grup whatsapp. Grup bagaikan angin musim kemarau khas negara di garis khatulistiwa. Kering dan panas. Tak ada satupun yang menjawab. Lalu satu ibu mulai mengajukan nama tetangganya, ganti yang satunya lagi, agak lama ada satu nama lagi. "Ayo..ayo.." batinku sebagai penonton yang tidak hafal nama anak kecil di sekitarku. Beberapa di antaranya anak titipan ke yangkung dan yangtinya, yang ku tak tau menau kondisi ayah ibu kandungnya. Tapi semuanya berakhir saat satu ibu mengajukan dirinya sebagai anak yatim piatu. Semuanya tiba-tiba kacau bagai pasar. Beberapa ibu mengajukan diri, sampai akhirnya Bu RT menyampaikan info tambahan usia maksimal 15 tahun.
Lalu sepi.
...

Oh, betapa tidak tau dirinya seseorang yang selalu minta dikasihani. Jika di atas langit masih ada langit, maka di bawah ketidakberuntungan akan ada kemalangan yang lebih. Atau jika kita melihat ini sebagai sebuah rancangan "kesempurnaan", maka setiap orang akan merasakan kesempurnaan sesuai rasa syukurnya. Akan ada bopeng dan kekurangan di sana sini di setiap diri manusia, tapi barangkali itu tidak akan dirasakan karena tertutup rasa cukup.
Akan ada saatnya seseorang merindukan ayah ibunya, tapi bukan menjadi alasan untuk bermanja-manja sepanjang waktu. Karena jika itu dilakukan, siapakah yang akan menjadi orang tua bagi adik-adik yatim piatu lainnya? Siapakah yang akan melanjutkan perjuangan ayah ibu, jika terus sibuk mengasihani diri? Anak kandung selayaknya juga jadi anak ideologis. Mengingat sejarah para tokoh dan anak keturunannya yang banyak gagal waris nilai-nilai kebaikan, mengapa aku menyerah? :)

#zelfbestuur #aksi
Madiun, dari balik meja, saat merindu orang tua, mengintisari buah pikir guruku, hingar bingar Aku Lala Padamu, dan seabreg kontemplasi.

Kamis, 22 Agustus 2019

Berbicara Rasis Dalam Berbicara


Rasis tidak melulu masalah kesukuan.
Rasis itu kesukaan diri menghujat orang lain, dengan asumsi aku lebih daripadamu. Versiku.
Rasis tidak hanya di jalan, tempat ibadahpun jadi. Padahal harusnya ibadahnyalah yang tak hanya di atas sajadah, semua aspek hidup adalah menuju ketiadaan.
“Lhoo, dengaren kelihatan (sholat berjamaah)?” ujar ibu-ibu kepada seorang gadis, seusai dzikir.
“Lha panjenengan (Anda) kemarin juga nggak kelihatan di mushola.”
“Oh ya?” senyum kecut merekah.
“Iya!” senyum ramah membalaskan dendam atas segala rasis urusan akhirat. Wkwk
Pelajarannya adalah, bersyukurlah bagi engkau yang mengimani bahwa malaikat itu ada, dan tugas satu di antaranya adalah mencatat amal ibadah. Coba malaikat kemampuannya selevel manusia, wah cilokooo.. Hahaha.


Rasialisme, menurut KBBI, adalah (1) prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; (2) paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.

Madiun, selepas Maghrib, mengadu, mengaduk masalah dan canda. Satir.
 


Sabtu, 17 Agustus 2019

Bukan Hanya Menerima, Tapi Meminta Maaf

Dini hari, 15 Agustus 2019. Aku begitu penat hati dan tubuh menghadapi kapitalis yang menyamar dalam tubuh ringkih dan praduga-praduga lainnya, menciptakan masalah yang seharusnya tak ada: prasangka buruk dari dalam diri untuk apa yang kuhadapi 7 jam lagi. Aku mulai berdoa untuk berserah, bahwa segala urusan duniawi hanya sementara, kalau Sang Sutradara berkehendak terjadi, maka terjadilah. Jika hilang, hilanglah. Jika mendekat, maka mendekatlah. Rezeki yang diusahakan memang lebih baik daripada diam meratap. Tapi jika sudah diusahakan, ia tak datang, maka cari, atau bahkan buatlah pintu yang lain! Buat apa pula meratap bersedih? Mempertanyakan doa, meragukan Tuhan akan mengabulkan permintaanmu, bukankah sama dengan menghinaNya? Itu ceracauku dalam hati sambil terkantuk terbentur-bentur kaca jendela kereta api yang kutumpangi. Hanya menerima. "Nerimo".
Di luar dugaan, dalam sehari, aku mendapat kesuksesan dan kegagalan di urusan yang berbeda. Sesungguhnya setelah kesulitan muncul kemudahan. Jadi kumenyangka kegagalanku dalam satu dimensi hidup adalah jawaban untuk meneruskan rencana lainnya. Sebagian besar keputusanku memang melibatkan intuisi, yang kunilai lebih unik daripada kecerdasan. Tidak, aku bukan anak jenius yang orang lain pikirkan, percuma juga memprediksiku atau memujiku atas sesuatu. Aku hanyalah manusia biasa. Aku hanya menempuh tujuan sama lewat jalur yang tidak biasa. Aku menerima keputusan Tuhan atas hidupku. Hanya itu. "Nerimo".
Siang hari, 17 Agustus 2019, aku terlibat diskusi dengan salah satu rekan aktivis. Beliau berkata dalam penanganan bencana, lebih sering dikaitkan dengan pikiran rasional dan meniadakan Tuhan. Tuhan hanya hadir untuk dzikir di akhir sesi penanganan trauma korban agar "nerimo". Tidak ada proses atau penyadaran meminta maaf kepada Sang Pencipta karena sains menganggap bencana terjadi pergeseran lempeng dsb, bukan karena cobaan atau hukuman dari Tuhan. Wow.
Hanya menerima, tanpa meminta.
Kapan ya terakhir aku minta maaf sama Tuhan saat ada masalah? Kapan aku mengucap istighfar dengan spontan saat ada bencana, atau sekedar hati merasa tak enak? Jangan-jangan nggak pernah. Aku selama ini hanya menerima, tanpa meminta maaf. Jangan-jangan aku memahami takdir masih secara terstruktur, hanya sebatas aksi-reaksi antarmanusia dan kasatmata. Jangan-jangan, iya. Aku lupa. Astaghfirullahal 'adzim. :(

Dalam persinggahan satu ke yang lainnya.
Mutiara Selatan, 17 Agustus 2019

Senin, 15 Juli 2019

Sakit

Rupanya gadis ini tak hanya sakit badan. Ia menangkap realitas nano-nano di sekitarnya. Bahwa ada orang yang menilai sebuah hubungan hanya sebatas materi, nama besar, dan perihal duniawi lainnya, masalah tanggung jawab adalah nomor belakang. Ada yang mendekat ketika materi berkilau disuguhkan padanya. Oh, seandainya mereka tau ada orang yang kerja tak berbayar, pasti hujatan GILA yang dilayangkan padanya. Ketika segala sesuatu di sekitar tubuh tak seiya sekata, maka sakit yang terasa, bahkan atom terkecil di dalam tubuh menolak. Proses, bukan hasil. Nilai, bukan materi. Aksi, bukan ngomong aja.
"Kenapa kamu marah-marah? Kenapa kamu gelisah? Tekanan itu datang darimana? Sekitarmu lho baik-baik saja," tanyanya pada diri sendiri.
Jawabnya sendiri, "Aku ingin merdeka! Aku ingin bebas! Aku ingin pergi dari sini, muak melihat segala politik yang mencarut marutkan ikatan darah. Politik pencitraan, sampai kapitalisasi ilmu. Bahkan teori ketidakpercayaan dan manusia utilitarian dalam akuntansi kutolak. Aku alergi, aku jijik. Aku ingin terbang melampaui ilmu itu sendiri, mencari kebenaran. Aku berjanji menyelamatkan dua orang agar dapat bertemu di keabadian."
Entah imam macam apa yang bisa mengendalikan gadis gila macam ini, mungkin lebih gila dan ekstraordinari. Huhu. Terlalu visioner juga membuatmu sakit, wahai gadis.
:)

"Muntahan" di sore hari,
ketika ketikan melampaui pita suara.
Madiun, 15 Juli 2019.

Senin, 01 Juli 2019

Reflektif Retrospektif


Ada gadis yang melongo mendengarkan penjelasan filosofis nan memerdekakan di kelas pengauditan. Sang Guru berkata, “…jadi kamu mau menangkap fenomena seperti apa? Apakah dalam kekakuan hubungan antarvariabel atau bagaimana? Apakah iya, realitas dapat dipahami secara demikian sederhana?” (kira-kira gitu sih ya, maklum si gadis pelupa wkwkwk)
Sang Guru tersenyum melihat 9 mahasiswa tampak berfikir di depannya, meskipun beberapa di antaranya mengakui secara tidak terang-terangan ra shanggup diajak mikir filosofis. Mau “naik” tapi apadaya “sayapnya” nggak mengepak kuat, karena memilih untuk mode hari biasa daripada untuk malam hari (mikir opo hayooo? Huahahaha).
Lalu, di lain kesempatan di kelas metodologi penelitian positif, dia kena bentak salah seorang professor, karena bertanya sampel di eksperimen. “GIMANA SIH, MANA ADA SAMPEL DI EKSPERIMEN?? KAN LANGSUNG DIUJIKAN KE SUBJEKNYA!” Sekilas amukan itu HANYA ditujukan untuk kegagalpahaman si gadis pada metode penelitian dan sempat membuat kecil hati atas sangkaan kebodohan diri, puadahalll…di kemudian hari ia sadar betapa laknatnya menguji coba sesuatu seolah peneliti adalah Tuhan dari pernyataan tersebut. Opo-opo diuji, dalam kerangka teori,”Cah kae tak ngenekne, kudune ngefek ngene.” Padahal iyo lek ngene, lek ngono? Hayo piye jal?? Wkwkwk
Positivist menangkap segala sesuatunya harus terukur, observable, nyata, logika. Wah gimana nih, AgnezMo yang go international aja sempat nyanyi Tak Ada Logika. Ndak logis ini, ndak ilmiah, ndak bisa ini, ndak bisaa! Hahaha. Kaum ini menyangka-nyangka sebuah kejadian hanya sesederhana kerangka teori. Kalau ada Y, maka ada X yang menganu-anu Y. Waini, anu-nya signifikan positif apa negatif yhaa~~~ gimana yhaa~~~ ditolak apa diterima yhaa~~~ hahaha. Padahal kalau si X punya pengaruh ke Y tapi R square nya kecil, nanti lak alasan, ada sesuatu di luar kuasa si peneliti. Terus ada “error” yang akan diterjemahkan sebagai hubungan X dan Y itu ndak jadi karena ada yang lain-lain. Lha lain-lain itu apa? Lagi-lagi peneliti akan mengatakan “itu semua di luar kuasaku”. Iyayalah, coy, semua yang terjadi ini atas kehendak Sang Pencipta. Terus, kamu ngatain kuasa-Nya sebagai error?
Bagaimanapun, ada Guru yang lain dari si gadis yang berkata bahwa masing-masing dari kita punya pandangan berbeda, bahkan dari penampilan sudah bisa dikira-kira dia itu “gimana”. Lho lak menduga lagi seh, padahal belum tentu lho. Si A pakai baju cerah karena dia bahagia dan cenderung feminin, padahal setelah ditanya ternyata dia suka pakai baju gelap karena dia maskulin (gender menurut Hofstede, sepurane lur, bukan merujuk pada pria wanita), namun hari itu dia pakai baju cerah karena baju-bajunya yang gelap belum garing di laundry. Yang tiwas menyiapkan indikator maskulin feminin dengan simbol 1-0 pada pengujian statistik mengira dia adalah laki-laki feminin dan menandai ia “nol” dalam maskulinitas. Kan nyakitin yha~~~ Lha kon sopo, kenal ora, nuduhan iyo. Wkwkwk. Menariknya Guru ini selalu mengajarkan “kamu sudah diajarin beberapa macam paradigma, kamu bisa jadi yang lebih paham dari yang kamu hadapi, sudah, ngalah aja. Atau cari alternatif cara menghadapinya. Lulusan sini, yang dapat mata kuliah Multiparadigma harusnya bisa ngadepin orang dengan lebih cerdas.” Si Gadis paham hal ini, tapi dalam beberapa hal ia tak dapat setuju begitu saja. Jadi idealis kadang tak dapat banyak teman, tapi sekalinya ada yang menemaninya, ia sekufu, sepaham, sevisi misi. Ndak kayak anak balita yang bisa diculik om-om atau tante-tante asing dengan tawaran es krim atau permen. “Maaf ya, yang lebih mahal, ada?”
#lho
#marikemanamana
:)))