Kamis, 22 Agustus 2019

Berbicara Rasis Dalam Berbicara


Rasis tidak melulu masalah kesukuan.
Rasis itu kesukaan diri menghujat orang lain, dengan asumsi aku lebih daripadamu. Versiku.
Rasis tidak hanya di jalan, tempat ibadahpun jadi. Padahal harusnya ibadahnyalah yang tak hanya di atas sajadah, semua aspek hidup adalah menuju ketiadaan.
“Lhoo, dengaren kelihatan (sholat berjamaah)?” ujar ibu-ibu kepada seorang gadis, seusai dzikir.
“Lha panjenengan (Anda) kemarin juga nggak kelihatan di mushola.”
“Oh ya?” senyum kecut merekah.
“Iya!” senyum ramah membalaskan dendam atas segala rasis urusan akhirat. Wkwk
Pelajarannya adalah, bersyukurlah bagi engkau yang mengimani bahwa malaikat itu ada, dan tugas satu di antaranya adalah mencatat amal ibadah. Coba malaikat kemampuannya selevel manusia, wah cilokooo.. Hahaha.


Rasialisme, menurut KBBI, adalah (1) prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; (2) paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.

Madiun, selepas Maghrib, mengadu, mengaduk masalah dan canda. Satir.
 


Sabtu, 17 Agustus 2019

Bukan Hanya Menerima, Tapi Meminta Maaf

Dini hari, 15 Agustus 2019. Aku begitu penat hati dan tubuh menghadapi kapitalis yang menyamar dalam tubuh ringkih dan praduga-praduga lainnya, menciptakan masalah yang seharusnya tak ada: prasangka buruk dari dalam diri untuk apa yang kuhadapi 7 jam lagi. Aku mulai berdoa untuk berserah, bahwa segala urusan duniawi hanya sementara, kalau Sang Sutradara berkehendak terjadi, maka terjadilah. Jika hilang, hilanglah. Jika mendekat, maka mendekatlah. Rezeki yang diusahakan memang lebih baik daripada diam meratap. Tapi jika sudah diusahakan, ia tak datang, maka cari, atau bahkan buatlah pintu yang lain! Buat apa pula meratap bersedih? Mempertanyakan doa, meragukan Tuhan akan mengabulkan permintaanmu, bukankah sama dengan menghinaNya? Itu ceracauku dalam hati sambil terkantuk terbentur-bentur kaca jendela kereta api yang kutumpangi. Hanya menerima. "Nerimo".
Di luar dugaan, dalam sehari, aku mendapat kesuksesan dan kegagalan di urusan yang berbeda. Sesungguhnya setelah kesulitan muncul kemudahan. Jadi kumenyangka kegagalanku dalam satu dimensi hidup adalah jawaban untuk meneruskan rencana lainnya. Sebagian besar keputusanku memang melibatkan intuisi, yang kunilai lebih unik daripada kecerdasan. Tidak, aku bukan anak jenius yang orang lain pikirkan, percuma juga memprediksiku atau memujiku atas sesuatu. Aku hanyalah manusia biasa. Aku hanya menempuh tujuan sama lewat jalur yang tidak biasa. Aku menerima keputusan Tuhan atas hidupku. Hanya itu. "Nerimo".
Siang hari, 17 Agustus 2019, aku terlibat diskusi dengan salah satu rekan aktivis. Beliau berkata dalam penanganan bencana, lebih sering dikaitkan dengan pikiran rasional dan meniadakan Tuhan. Tuhan hanya hadir untuk dzikir di akhir sesi penanganan trauma korban agar "nerimo". Tidak ada proses atau penyadaran meminta maaf kepada Sang Pencipta karena sains menganggap bencana terjadi pergeseran lempeng dsb, bukan karena cobaan atau hukuman dari Tuhan. Wow.
Hanya menerima, tanpa meminta.
Kapan ya terakhir aku minta maaf sama Tuhan saat ada masalah? Kapan aku mengucap istighfar dengan spontan saat ada bencana, atau sekedar hati merasa tak enak? Jangan-jangan nggak pernah. Aku selama ini hanya menerima, tanpa meminta maaf. Jangan-jangan aku memahami takdir masih secara terstruktur, hanya sebatas aksi-reaksi antarmanusia dan kasatmata. Jangan-jangan, iya. Aku lupa. Astaghfirullahal 'adzim. :(

Dalam persinggahan satu ke yang lainnya.
Mutiara Selatan, 17 Agustus 2019