Rabu, 27 September 2017

Hari Keseratus Rindu Mama

Hari ini saya, yang entah kenapa, merasa emosi sekali. Ada beberapa hal yang menurut daya tangkapku sangat menyakitkan. Nggak, bukan saya yang secara langsung ditabok atau dicemplungin sumur atau disakiti dengan cara lainnya.
Ini soal pendidikan. Saya banyak bertanya kenapa anak jaman sekarang semangat sekolahnya gitu amat, apakah karena sayanya yang kurang mampu menyelam ke dunia mereka atau bagaimana. Kenapa harga tetek bengek sekolah begitu tinggi, apakah pola pikir para produsen sudah menganut paham kapitalisme, menjadikan sekolah sebagai modal sehingga alat mencapai kelulusan begitu "dihargai". Kenapa anak-anak mulai mikir nyari ilmu itu nomer sekian, nilai jadi yang utama, apakah mereka juga sama mikir sekolah adalah modal mencari kerja? Bukan ladang ilmu lagi? Institusi apa sekolah itu? Beberapa sudah mengikrarkan dirinya sebagai entitas bisnis, padahal dia diperlakukan sebagai modal. Kan jadi inception kan ya. Kenapa penelitian di luar negeri amat berkembang, sampai menghasilkan ini itu, yang mengubah kehidupan bangsa mereka sendiri. Penelitian itu dijadikan pekerjaan (modal) atau pengabdian ya? Kenapa kenapa yang lain muncul..terus saja begitu..
Sampai akhirnya saya pening dan mbrebes. Hampir setiap hari, pulang pergi kerja saya lewat "rumah baru" mama. Mama yang selalu bertanya dengan lugunya,"kenapa kamu masih belajar? Kok enak sekali yang kamu ajarin?" Hati saya tambah kayak dihujam ketika ingat almarhumah dulu berjuang demi ilmu, bersepeda berkilo-kilo jauhnya demi menuntut ilmu, sampai pegel dan sakitnya mengayuh tidak dirasa lagi. Ilmunya dituntut lho ya, bukan ilmunya menuntut agar dikuasai. Haha. Almarhumah bahkan menego-nego agar bisa sekolah lebih tinggi, tidak hanya jadi ibu rumah tangga. Padahal saya tau benar, almarhumah cerdas luar biasa, dengan bekal melihat, mama bisa meniru hampir semua hal dengan tingkatan hampir sempurna.
Mama..kenapa muridku bukan mama? Kenapa kemudahan anak jaman sekarang bukan mama yang rasakan? Semoga di surga banyak buku ya, ma..
Semoga mama menerima pahala dari setiap ilmu yang mengalir dariku. Aamiin.

Minggu, 17 September 2017

Prekuel Catatan Gadis Penyusup (2)

Beberapa dasawarsa lalu..
Gadis itu menatap pria berbadan tegap yang sangat ia kenal berlalu begitu saja dengan sepedanya, tanpa menyapa, padahal biasanya menggoda, atau curi-curi pandang ke arahnya. Lelaki yang biasanya ia hindari, karena ajaran soal dosa, berkaitan dengan harga diri wanita pula. Biasanya.
...
"Papamu itu cuek ternyata. Ga nyadar ada mama di sampingnya. Lewat aja. Mbablas, ga noleh-noleh," kata wanita itu mengaku. Dari sudut pandangnya, ia gemas ketika suatu waktu tidak diperhatikan oleh lelaki yang ia cintai. Satu-satunya di sepanjang hidupnya. Wanita tua itu terdiam membayangkan masa mudanya.
Putrinya ikut terdiam, karena kaget bukan main.

Rabu, 13 September 2017

Catatan Gadis Penyusup (2)

Lebih dari empat belas purnama..
Di sebuah lorong bermandikan cahaya.
Bingkai hitam yang menatap lurus ke depan,
apakah yang engkau pikirkan?
Langkah tegas tak berpaling.
Tak diacuhkannya si kerudung pink.
Tergambar suatu rancangan dan gadis pujaan,
Satu dari keduanya mungkin di dalam renungan.

Senin, 11 September 2017

Sedikit Lari Dari Kemapanan Konsep Diri (Panganan Opo Iki? Wkwkwk)

Sesuai dengan judulnya, ide tulisan ini terangkat dari jurang imajinasi (percayalah imajinasiku sering membuat geleng-geleng daripada angguk-angguknya :D ) di saat aku lari pagi. Mungkin kita sedikit basi mendengar guyonan “lari dari kenyataan”, tapi lari pagi ini benar adanya merupakan pelarianku dari naiknya berat badan. Hihi.

Beberapa blok kulewatin dengan bekal musik jedag jedug sampai akhirnya kaki melangkah di depan rumah guru olahraga pas jaman SMP. Langsung ingat betapa sakit hatinya dulu pada saat aku dibully karena kegemukan. Kalo dipikir lagi sekarang sih malah lucu ya, kan nggak semua orang terlahir dengan badan kerempeng atau ala pragawati, trus ngapain aku dulu ikut marah-marah geje sampai merutuki diri sendiri karena dikatain orang? Aku masuk menghina ciptaan Tuhan dong ya.. :)

Seorang guru olahraga boleh saja meremehkan anak overweight karena tidak sesuai dengan kriteria “sehat” menurut pandangannya. Beliau kan nggak tau perjuangan anak bongsor dalam mengatur pola makan. Sampai aku pernah kena gejala tipus 3 kali. Mungkin kalo sekali lagi kena, aku bisa dapat hadiah kulkas. Hehe. Beliau nggak tau dan nggak mau tau. That’s the problem.

Itulah definisi kesombongan diri. Kita kadang terlalu memegang teguh apa yang kita anggap benar, sampai menyalah-nyalahkan pandangan orang lain. Kita kadang meremehkan orang lain tanpa memandang usahanya, dan lebih beriorientasi hasil yang tampak. Kita sibuk berbangga diri karena standar diri terlampaui, mengklaim “berkat aku maka ada sesuatu”, ih emang situ Tuhan? Mak jedyer, kun fayakun? wkwkwk

Lain cerita, sore ini aku dan salah satu kolega bercanda tentang pemaknaan teks. Aku dengan khayalan yang bikin geleng-geleng itu mulai bercanda nggak karuan. Tanpa berniat dan berprasangka buruk, dia bertanya kepadaku yang kira-kira,”Kok bisa sih kayak gitu salah interpretasi?”.
Kujawab,”Lho dulu item pertanyaan kuesionerku pas penelitian aja bisa salah dimaknai (sama responden) kok, bu.” Ya, apalagi pernyataan atau kondisi umum. Masing-masing orang memiliki kemampuan berbeda dalam memahami, kecerdasan, emosional, pengalaman, latar belakang keluarga, lingkungan, teman-teman yang diajak bertukar pikiran, dan banyak hal lain yang berbeda.
Aku nggak mau sok iyes memprediksi kemampuan seseorang untuk meyakini sesuatu, karena kuyakini determinan suatu hal itu tak terbatas jumlahnya, hanya Tuhan yang tau. Daripada aku harus menyebutkan istilah “error” layaknya paradigma statistika. Mau dibagi menurut pandangan orang yang selalu berpikir positif dengan yang buruk itupun memuat banyak dimensi. Kita bisa saja menganggap orang yang terlalu pasrah atau berlindung mengikuti arus sebagai orang yang lemah dan terlalu positive thinking menghadapi segala hal sampai pada hal yang sifat menjajah dirinya sendiri. Kita bisa saja menganggap orang yang cerdas dan visioner sebagai orang yang selalu menangkap hal buruk dari segala sesuatu sehingga kita mengatainya orang garis keras, nggak santay beudh atau selalu negative thinking. Mau nangkep dari dimensi terlalu positif atau terlalu negatif juga bisa. Kebiasaan bisa mengakar sampai level overdosis, menangkap segala sesuatu selalu baik atau selalu buruk, padahal yang keterlaluan itu tidak baik.

Pusing nggak nih? Hihi.

Kesimpulannya, jangan sok iyes. Bisa aja kamu salah, sisakan kemungkinan yakinmu tidak tepat. Bisa aja dia yang salah, atau mereka, atau kami, bahkan kita yang salah. Seluas-luasnya pandangan, masih ada yang lebih luas. Kamu nggak tau yang ia atau mereka alami, pembentuk “ia” atau “mereka” yang menyebabkan munculnya keyakinan tertentu.

Ah, kayaknya yang baca tambah pusing. Akupun pusing saat mengurai ideku kali ini. Hihi. Tulisan perdana setelah melalui masa kehilangan sang surya, yang diangkat dari jurang imajinasi dan beberapa pengalaman yang diizinkan melintas yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Hahaha.
Semoga menjadi pelajaran untukku untuk selalu menjaga asumsi, perbuatan, dan lisan.