Senin, 11 September 2017

Sedikit Lari Dari Kemapanan Konsep Diri (Panganan Opo Iki? Wkwkwk)

Sesuai dengan judulnya, ide tulisan ini terangkat dari jurang imajinasi (percayalah imajinasiku sering membuat geleng-geleng daripada angguk-angguknya :D ) di saat aku lari pagi. Mungkin kita sedikit basi mendengar guyonan “lari dari kenyataan”, tapi lari pagi ini benar adanya merupakan pelarianku dari naiknya berat badan. Hihi.

Beberapa blok kulewatin dengan bekal musik jedag jedug sampai akhirnya kaki melangkah di depan rumah guru olahraga pas jaman SMP. Langsung ingat betapa sakit hatinya dulu pada saat aku dibully karena kegemukan. Kalo dipikir lagi sekarang sih malah lucu ya, kan nggak semua orang terlahir dengan badan kerempeng atau ala pragawati, trus ngapain aku dulu ikut marah-marah geje sampai merutuki diri sendiri karena dikatain orang? Aku masuk menghina ciptaan Tuhan dong ya.. :)

Seorang guru olahraga boleh saja meremehkan anak overweight karena tidak sesuai dengan kriteria “sehat” menurut pandangannya. Beliau kan nggak tau perjuangan anak bongsor dalam mengatur pola makan. Sampai aku pernah kena gejala tipus 3 kali. Mungkin kalo sekali lagi kena, aku bisa dapat hadiah kulkas. Hehe. Beliau nggak tau dan nggak mau tau. That’s the problem.

Itulah definisi kesombongan diri. Kita kadang terlalu memegang teguh apa yang kita anggap benar, sampai menyalah-nyalahkan pandangan orang lain. Kita kadang meremehkan orang lain tanpa memandang usahanya, dan lebih beriorientasi hasil yang tampak. Kita sibuk berbangga diri karena standar diri terlampaui, mengklaim “berkat aku maka ada sesuatu”, ih emang situ Tuhan? Mak jedyer, kun fayakun? wkwkwk

Lain cerita, sore ini aku dan salah satu kolega bercanda tentang pemaknaan teks. Aku dengan khayalan yang bikin geleng-geleng itu mulai bercanda nggak karuan. Tanpa berniat dan berprasangka buruk, dia bertanya kepadaku yang kira-kira,”Kok bisa sih kayak gitu salah interpretasi?”.
Kujawab,”Lho dulu item pertanyaan kuesionerku pas penelitian aja bisa salah dimaknai (sama responden) kok, bu.” Ya, apalagi pernyataan atau kondisi umum. Masing-masing orang memiliki kemampuan berbeda dalam memahami, kecerdasan, emosional, pengalaman, latar belakang keluarga, lingkungan, teman-teman yang diajak bertukar pikiran, dan banyak hal lain yang berbeda.
Aku nggak mau sok iyes memprediksi kemampuan seseorang untuk meyakini sesuatu, karena kuyakini determinan suatu hal itu tak terbatas jumlahnya, hanya Tuhan yang tau. Daripada aku harus menyebutkan istilah “error” layaknya paradigma statistika. Mau dibagi menurut pandangan orang yang selalu berpikir positif dengan yang buruk itupun memuat banyak dimensi. Kita bisa saja menganggap orang yang terlalu pasrah atau berlindung mengikuti arus sebagai orang yang lemah dan terlalu positive thinking menghadapi segala hal sampai pada hal yang sifat menjajah dirinya sendiri. Kita bisa saja menganggap orang yang cerdas dan visioner sebagai orang yang selalu menangkap hal buruk dari segala sesuatu sehingga kita mengatainya orang garis keras, nggak santay beudh atau selalu negative thinking. Mau nangkep dari dimensi terlalu positif atau terlalu negatif juga bisa. Kebiasaan bisa mengakar sampai level overdosis, menangkap segala sesuatu selalu baik atau selalu buruk, padahal yang keterlaluan itu tidak baik.

Pusing nggak nih? Hihi.

Kesimpulannya, jangan sok iyes. Bisa aja kamu salah, sisakan kemungkinan yakinmu tidak tepat. Bisa aja dia yang salah, atau mereka, atau kami, bahkan kita yang salah. Seluas-luasnya pandangan, masih ada yang lebih luas. Kamu nggak tau yang ia atau mereka alami, pembentuk “ia” atau “mereka” yang menyebabkan munculnya keyakinan tertentu.

Ah, kayaknya yang baca tambah pusing. Akupun pusing saat mengurai ideku kali ini. Hihi. Tulisan perdana setelah melalui masa kehilangan sang surya, yang diangkat dari jurang imajinasi dan beberapa pengalaman yang diizinkan melintas yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Hahaha.
Semoga menjadi pelajaran untukku untuk selalu menjaga asumsi, perbuatan, dan lisan.

0 komentar:

Posting Komentar