Senin, 20 Juni 2016

Mengalah Bukan Berarti Kalah

Hari ini...
saat aku lelah mencari responden penelitianku,
aku duduk di deretan kursi belakang. Sepi, tapi cukup strategis untuk mengamati segala sesuatunya dalam diam.
Di deretan sebelah, tiba-tiba seorang ibu menyapaku.
Batinku, "Wah cerita apalagi kali ini?"
Aku sudah terbiasa mendengar keluhan sampai sesumbar akhir-akhir ini, pertanda telingaku bukan sekedar tempat melekatnya earphone atau bergelayutnya si anting.
Aku sudah terbiasa pula diwawancarai. Ya, peneliti yang dikepoin sama respondennya. Metode penelitian, justifikasi sembarang kalir yang pernah kupresentasikan kala ujian proposal itu kuulang lagi di depan orang asing. Status pendidikan sampai nasihat pra nikah juga tak luput jadi bahasan. Hahaha..

Kali ini, ibu yang menyapaku mulai menduga aku berasal dari Direktorat Jenderal Pajak. Aku tersenyum, menggeleng. Aku biasanya sungkan menyebut kepascasarjanaanku, jadi kubilang saja nama universitasku dan prodi umum: akuntansi. Aku ditanya semester berapa, kukatakan saja empat. Kalau ibu itu jeli, tentunya sudah menduga ada yang aneh.. Hehe.. Tapi ternyata tidak!

Mata ibu itu berkaca-kaca. Dia menceritakan putrinya yang tidak kunjung diterima di universitas negeri sebagai mahasiswi.

Aku tanyakan mengapa tidak kuliah di universitas swasta. Sang anak hanya ingin masuk di sekolah negeri.

Aku tanyakan mengapa tidak ambil jalur mandiri di universitas negeri. Sang anak tidak ingin memberatkan orang tuanya. Katanya, lebih baik bekerja daripada harus membebani orang tuanya yang buruh tani. Bendungan air mata si ibu sudah hampir jebol. Kata-kata "buruh tani" diucapkan dengan terisak.

PLAK!

Aku ditampar.
Aku sudah mencicipi hampir 4 tahun kuliah strata satu, lalu hampir 2 tahun di strata dua. Sebesar apapun rintangan yang kuhadapi selama kuliah dan penelitian, aku tak pantas mengeluh. Masih banyak yang kurang beruntung tak bisa merasakan tantangan yang kadang kukeluhkan.
Mereka ingin tapi tak bisa.
Aku bisa tapi masih ada aja yang diomelkan.
Hey, tantangan itu nikmat ternyata!

Ketika kembali dari lamunanku, aku segera berkata, "Bu, kenapa putrinya tidak berwirausaha saja? Tidak mampu duduk di bangku kuliah belum tentu tidak mampu menciptakan pekerjaan sendiri, kan?"

Si ibu mengangguk setuju. Di saat yang bersamaan, temannya datang dan mengajak si ibu pulang. Aku disalaminya dengan wajah sedikit lega.
Gantian aku yang agak nggak lega. Kepikiran sampai kutuliskan di sini. Bagiku, curhatan ibu itu adalah cara Tuhan mengingatkanku tentang mata kuliah "bersyukur", "berjuang", dan "mengalah".

Mengalah?
Ya, mengalah untuk orang yang kita sayangi bukan berarti kita kalah. Justru itu adalah kemenangan melawan ego dan kebodohan emosional. :)



Dari tempat penelitian dengan cinta,

anak manis

Minggu, 19 Juni 2016

Jari Menari

Menulis dan mempublikasikannya...
..adalah salah satu caraku melepaskan sesuatu yang jalan-jalan di dalam kepalaku, agar ia berlari keliling dunia.
..adalah salah satu cara mengabadikan sesuatu yang kasat mata, yang terbuat dari perasaan dan pemikiran.
..adalah salah satu memperkenalkan diriku kepada dunia, karena menurutku mengenal seseorang tak cukup dari kehadiran secara fisik, namun substansiku juga perlu diketahui bagi mereka yang peduli padaku. Namun, ide tanpa perwujudan juga kuanggap tak utuh.
..adalah caraku mengungkapkan dengan mendalam, daripada melihatku sedih atau tertawa, bahkan saat mulutku terkunci. Biar jariku yang bergerak. Namun, yang terdalam masih ada di hati. Tulisan hanya penawar untuk yang teracuni, penenang untuk yang bergejolak.
..adalah latihan keberanian dan tanggung jawab. Layaknya saat berbicara, ideku belum tentu diterima, dimengerti, sebaik apapun niatnya. Berbicara lewat tulisan pun harus diniatkan tak menyakiti dan diungkapkan seelegan mungkin.
..adalah latihan mengerti tulisan orang lain. Tak perlu mengusik yang galau, tak usah menghina yang berbeda, tak usah berprasangka yang aneh-aneh. Kalau aku tak ingin dikomentari yang menyakitkan, ya jangan membegitukan orang lain. Aturan yang kusepakati dengan diriku sih begitu, walau kadang masih sering "mirroring". Dasar melankolis! :))
..adalah caraku berpikir ulang. Emosi yang dituliskan itu lebih lambat daripada yang terucap. Dengan menulis, kadang membuatku berpikir dua kali. Tidak jadi diposting? Oh sering! Lebih baik tidak jadi, daripada terlanjur dan menghapus. Wanita pun belajar bersikap kesatria, walau lebih mementingkan perasaan daripada logika.
Akhir kata, sebagian duniaku ada di tulisanku. Selamat menonton tarian jariku. Tapi ingat, ini cuma pecahan diriku. :)

Jadi, kamu sudah menulis apa hari ini?

Senin, 13 Juni 2016

Ngepoin Diri Sendiri

Menghirup udara malam, kuberusaha mengusir keterdesakan.
Terdesak rindu, namun tak berpenghubung. Oh Tuhan, syukurlah aku masih punya cinta.
Terdesak kewajiban, namun waktuku terbatas. Syukurlah, aku punya rasa tanggung jawab.

Tapi, tunggu.. Kenapa aku merasa terdesak? Apakah aku sedang tak bahagia?
Bahagiaku sepertinya dimakan kekhawatiran.
Khawatir tak dicintai, mungkin.
Khawatir tak menyelesaikan kewajiban dengan baik, mungkin.

Kenapa aku khawatir?
Apakah keikhlasan di dalam diriku sedang anjlok?
Karena aku takut ketidakpastian dan efek remuk redam saat menghadapi hal terburuk?
Karena aku takut rencanaku tak indah lagi saat realisasi?

Karena ikhlas menerima tak semudah ikhlas saat memberi, kawan. Ikhlas menghadapi ketidakpastian. :)

(Sebuah contoh mencari sumber galau, semoga aku menuliskannya dengan elegan. Hehe..)