Jumat, 15 Juli 2016

Mengalahkan Kecerdasan Seorang Wanita

Entah kenapa obrolan sore bersama seorang kawan membuat jariku ingin mengelus laptop. WIDAAA, KAMU KUSEBUT LHOO.. *lalu aku dilindes motornya agar bungkam* wkwkwkwk

Riset menyatakan kecerdasan anak diturunkan sekitar 75% dari ibunya dan 25% dari ayahnya. Mendengar hasil riset, harusnya pria lajang berlomba-lomba mencari wanita single cerdas.
Tapi nyatanya wanita cerdas disegani, bahkan ditakuti. Apalagi yang gelarnya sepanjang coki-coki, sekolahnya setinggi langit di angkasa. Meskipun tak bertitel bukan berarti tak cerdas. Mamaku contohnya, gadis lulusan SMA yang mengabdikan dirinya untuk keluarga. Kan nggak mungkin kakakku, si juara bertahan dari SD sampai kuliah, mengambil DNA tetangga atau ibu-ibu yang numpang lewat depan rumah. Jadinya ntar FTV Anakku Bukan Anakmu. Eh? wkwkwk

Aku sering kok diganggu, sampai dibully kaum adam, karena dia merasa "senior". Biasanya setelah tau aku anak pasca, dia bungkam. MAS, NGGAK TAU AKU ANAK SIAPA HAH??? uwuwuwuw.
Padahal kan niatku jujur. Aku anaknya ga sombong kok, serta suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Eh, malah sononya yang kayak ganti kebully. wkwkwk.

Selain perkara gengsi, ada juga pria yang segan ngibulin wanita cerdas. Lho, cari partner sehidup semetong, apa nyari "calon korban penipuan" sih? mwahaha.
Aku jadi ingat kajian pranikah beberapa minggu lalu. Garis besarnya adalah kita perlu menentukan tujuan kita dalam mencari pasangan, apakah mencari yang cocok dengan diri kita.., atau mencari seseorang yang dapat menjadi ayah (ibu) anak-anak kita kelak.
Maksudnya, kita diajak menjadi visioner. Kita membayangkan versi yunior dari seseorang -yang jadi target kita- dengan segala sifatnya yang melekat di dirinya. Sifat anak kan pasti didapatkan dari orang tua. Nah, bayangin mbesok anak kita kayak apa kalo sifat orang tersebut menurun. Kupikir, ini juga perkara kecerdasan.
Bedanya dimana? Ya kalau para pria mementingkan gengsi ya harus cari yang wanita yang level kecerdasan di bawahnya. Kan biar cocok sama maunya.
Kalau pria tersebut mampu berpikir visioner, ya pasti cari wanita yang -kalo bisa- lebih cerdas daripada dia. Untuk Indonesia yang lebih cerdas, mas~ uwuwuwuw~


Terus, menyoroti perkara gengsi.. Pria takut kalah debat? Itu mau lomba apa nikah sih? hahaha.
Takut dikudeta? Buset dah, kecerdasan ada 3 lho. Intelektual, emosional, spiritual. Seseorang dengan kecerdasan emosional dan spiritual tinggi tak mungkin menyakiti orang lain memakai intelektualnya.
Takut ga bisa naklukin? Setiap wanita punya perasaan yang bisa kamu kuasai dulu, sebelum menundukkan dia, secerdas atau sehebat apapun ia. Eaaa..


Dari tempat legalisir ijazah dengan cinta,

anak manis

Senin, 04 Juli 2016

Harusnya Tak Berakhir

Bagiku Ramadhan itu [harusnya] tak berakhir dalam 2 hari. Karena kalau di-cut-off begitu, kebaikan super yang kita usahakan [inshaallah] sepenuh hati dan totalitas di dalam bulan ini akan menurun atau tiada di bulan-bulan selanjutnya. Bulan Ramadhan itu masaku untuk belajar. Bulan-bulan selanjutnyalah yang merupakan ujian. [Kurasa] Bodohlah aku di depan Tuhanku jika aku melupakan pelajaran sabar dan ikhlas di keseharian, hanya karena hari itu bukan termasuk bulan Ramadhan.




Fajar di tanah kelahiran,

mahlukNya yang mencoba mengurai huru hara pikiran dan haru biru perasaan.

Minggu, 03 Juli 2016

Nge-DOTS Dulu Yuk~

NgeDOTS? Mentang-mentang lagi jadi aunty penuh waktu, kamu bawa-bawa istilah bayi, Laa??

Hehe.. Bukan. DOTS yang kumaksudkan adalah judul drama Korea ngehits tahun 2015: Descendants of the Sun. Harap maklum, saking sibuknya hamba, seluruh episode baru selesai ditonton pada 2016. Meskipun begitu, postingan ini bukan untuk ngeri, eh, ngereview jalan ceritanya.

Ada satu adegan yang bikin aku terkesan dan menyadari sesuatu.
Yang mana hayoo?
Bukan yang berdua-duaan, bukan juga yang waktu tembak-tembakan.
Tapiii.., pas mbak dokter Korea nolong si mas mafia Amerika.

Saat itu mbak dokter dihadapkan pada pilihan membiarkan musuh meninggal karena menurutnya membiarkannya meninggal akan menyelamatkan banyak nyawa yang lainnya.., atau menolongnya atas dasar rasa kemanusiaan. Di saat dia bambang, eh bimbang.. mas tentara sang gebetan mengingatkan kalo si mbak dokter harus menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, dokter ya menyelamatkan nyawa tak peduli siapapun itu. Tanpa mas tentara ngomong pun, hal tersebut sudah ada di sumpah profesi.

Oke, masuk ke pemahaman kemana-mana ala aku..
Dokter punya sumpah sebagai berikut:

SAYA BERSUMPAH BAHWA :
  • Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan.
  • Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
  • Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
  • Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan dan keilmuan saya sebagai dokter.
  • Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien.
  • Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian, atau Kedudukan Sosial, dalam menunaikan kewajiban saya terhadap penderita.
  • Saya akan memberikan kepada Guru-Guru saya, Penghormatan dan Pernyataan Terima Kasih yang selayaknya.
  • Saya akan memperlakukan Teman Sejawat saya sebagai saudara kandung.
  • Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
  • Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Perikemanusiaan, sekalipun saya diancam.
  • Saya ikrarkan Sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Pertanyaanku adalah, apakah kita perlu menunggu mencapai posisi tertentu atau diakui memiliki profesi tertentu, baru bersumpah yang baik-baik?
Bagaimana dengan "profesi" kita sebagai manusia? Menurutku itu profesi inti yang dipikul setiap orang, begitu ia lahir di dunia. Sering dari kita merasa bukan siapa-siapa padahal sudah jelas kalau kita punya jabatan otomatis sebagai manusia, Lucunya, orang mencari kesana kemari untuk sebuah pengakuan, dan pada akhirnya merasa segalanya pada saat seharusnya ia makin merasa bukan siapa-siapa. Bertolak belakang dengan ilmu padi, kan? :)
Adegan dari drama Korea itu membuka satu kesadaran terdalamku (saat ini). Bahwa kita seharusnya tak perlu menunggu jadi siapapun atau apapun itu untuk berbuat kebaikan. Pasti ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk dunia. Mau contoh?

Dari sumpah
  • Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan dan keilmuan saya sebagai dokter.
kita sebagai manusia yang bukan dokter juga dapat melakukannya dengan cara simpel: menjaga rahasia orang lain, menjauhi pergunjingan dan menjaga martabat orang lain, siapapun itu, tanpa memperdulikan ada tidaknya kepentingan.

Dari sumpah
  • Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian, atau Kedudukan Sosial, dalam menunaikan kewajiban saya terhadap penderita.
kita sebagai manusia yang bukan dokter juga dapat melakukannya dengan cara: membantu siapapun itu untuk bertujuan meringankan bebannya, bukan karena pencitraan, ingin imbalan, atau karena ia "cocok" atau hutang budi.

Pemahaman lebih jauh dariku adalah aku sebagai manusia sudah diberi kelebihan tertentu oleh Tuhan. Tuhan percaya padaku, bahwa menitipkan segala kemampuan itu untuk digunakan dalam kebaikan. Aku tidak mau mengkhianati kepercayaanNya, titipanNya yang tak kubawa ke alam kubur ini, jadi ya dimanfaatkan untuk pengabdian kepada sesama ciptaanNya.
Kesimpulannya, MENGABDI TAK HARUS PUNYA GELAR PROFESI [dari manusia], kan? :)