Kamis, 05 Maret 2015

Penggalauan Setelah Seperempat Abad

Dear sahabat, keluarga, atau siapapun kamu yang sangat peduli dengan statusku..
Aku menggalau.. bukan karena usiaku sudah lebih dari seperempat abad..
Namun, selama 25 tahun ini, belum kutemui sosok pemimpin, sekaligus penakluk segala kelebihanku dan pengisi kekuranganku.
Pemimpin yang bagai dedaunan yang meliuk anggun di rantingnya saat diterpa angin. Kebebasan yang terikat.
Karena kekakuan merupakan cikal bakal diktator. Yang egonya akan berkuasa saat aku dengannya ada di titik terendah kehidupan. Dengannya, mungkin aku akan terbantai.
Karena bebas sebebas-bebasnya akan menciptakan pengabaian dan pembenaran atas segala sesuatu. Dengannya, mungkin aku akan dibunuh perlahan.

Aku menggalau.. bukan karena belum adanya seseorang yang ingin merubah statusku menjadi tak lagi lajang..
Menikah itu status. Perayaan itu simbol. Makna yang ada di dalamnya lebih penting.
Aku dilahirkan sendiri. Dari rahim ibu, aku diperantarakan menginjak dunia.
Aku akan kembali kepadaNya sendiri. Ke liang lahat, jasadku akan masuk.
Lalu, untuk apa aku gusar? Dari nol akan kembali kepada nol.
Ia yang tercinta hanya dititipkan Tuhan padaku. Aku, wanita yang diserahkan kepadanya untuk dibimbing makin dekat kepadaNya.
Mengapa aku harus memaksakan diri untuk menjadi bukan diriku dan melakukan tugas calon imam untuk sebuah pernikahan?
Aku tau kualitasku. Dalam kata cocok tak ada baik-buruk. Baik itu relatif. Sempurna itu tak ada dalam manusia, yang ada saling melengkapi. Cocok.

Aku menggalau.. bukan karena aku tak bahagia.
Aku bingung akan berbagi kebahagiaan sepanjang waktu dengan siapa. Karena dalam kesendirianku pun, aku begitu bahagia.
Ada orang tua, saudara, sahabat yang rela bergiliran kuganti cemberut mereka dengan tawa.
Masa akan kuhabiskan sisa hidupku dengan seseorang yang membuatku menangis karena memilihnya hanya dari aspek bisa-dinikahi? Wah, neraka dunia namanya.

Iya. Aku si pemikir. Dan aku merasakan lebih dalam dari kebanyakan.
Aku tak takut ditertawakan (lagi).
Karena yang kutau, setiap manusia itu berbeda. Unik. Cemoohmu mungkin bisa jadi prinsip bagiku. Kerlingan mata kegenitanmu mungkin bisa jadi penyakit cacar untukku. Abaimu mungkin bisa jadi air mataku. Dan amarahku bisa jadi lelucon bagimu.
Aku tak berhak menghina sudut pandang lain.
Aku hanya mencari kamera yang saling sorot denganku. Bukan untuk saling mencari kekurangan, tapi saling memandang. “Aku tau kamu. Kamu tau aku. Ayo kita jadi tim sepanjang masa.”