Senin, 01 Juli 2019

Reflektif Retrospektif


Ada gadis yang melongo mendengarkan penjelasan filosofis nan memerdekakan di kelas pengauditan. Sang Guru berkata, “…jadi kamu mau menangkap fenomena seperti apa? Apakah dalam kekakuan hubungan antarvariabel atau bagaimana? Apakah iya, realitas dapat dipahami secara demikian sederhana?” (kira-kira gitu sih ya, maklum si gadis pelupa wkwkwk)
Sang Guru tersenyum melihat 9 mahasiswa tampak berfikir di depannya, meskipun beberapa di antaranya mengakui secara tidak terang-terangan ra shanggup diajak mikir filosofis. Mau “naik” tapi apadaya “sayapnya” nggak mengepak kuat, karena memilih untuk mode hari biasa daripada untuk malam hari (mikir opo hayooo? Huahahaha).
Lalu, di lain kesempatan di kelas metodologi penelitian positif, dia kena bentak salah seorang professor, karena bertanya sampel di eksperimen. “GIMANA SIH, MANA ADA SAMPEL DI EKSPERIMEN?? KAN LANGSUNG DIUJIKAN KE SUBJEKNYA!” Sekilas amukan itu HANYA ditujukan untuk kegagalpahaman si gadis pada metode penelitian dan sempat membuat kecil hati atas sangkaan kebodohan diri, puadahalll…di kemudian hari ia sadar betapa laknatnya menguji coba sesuatu seolah peneliti adalah Tuhan dari pernyataan tersebut. Opo-opo diuji, dalam kerangka teori,”Cah kae tak ngenekne, kudune ngefek ngene.” Padahal iyo lek ngene, lek ngono? Hayo piye jal?? Wkwkwk
Positivist menangkap segala sesuatunya harus terukur, observable, nyata, logika. Wah gimana nih, AgnezMo yang go international aja sempat nyanyi Tak Ada Logika. Ndak logis ini, ndak ilmiah, ndak bisa ini, ndak bisaa! Hahaha. Kaum ini menyangka-nyangka sebuah kejadian hanya sesederhana kerangka teori. Kalau ada Y, maka ada X yang menganu-anu Y. Waini, anu-nya signifikan positif apa negatif yhaa~~~ gimana yhaa~~~ ditolak apa diterima yhaa~~~ hahaha. Padahal kalau si X punya pengaruh ke Y tapi R square nya kecil, nanti lak alasan, ada sesuatu di luar kuasa si peneliti. Terus ada “error” yang akan diterjemahkan sebagai hubungan X dan Y itu ndak jadi karena ada yang lain-lain. Lha lain-lain itu apa? Lagi-lagi peneliti akan mengatakan “itu semua di luar kuasaku”. Iyayalah, coy, semua yang terjadi ini atas kehendak Sang Pencipta. Terus, kamu ngatain kuasa-Nya sebagai error?
Bagaimanapun, ada Guru yang lain dari si gadis yang berkata bahwa masing-masing dari kita punya pandangan berbeda, bahkan dari penampilan sudah bisa dikira-kira dia itu “gimana”. Lho lak menduga lagi seh, padahal belum tentu lho. Si A pakai baju cerah karena dia bahagia dan cenderung feminin, padahal setelah ditanya ternyata dia suka pakai baju gelap karena dia maskulin (gender menurut Hofstede, sepurane lur, bukan merujuk pada pria wanita), namun hari itu dia pakai baju cerah karena baju-bajunya yang gelap belum garing di laundry. Yang tiwas menyiapkan indikator maskulin feminin dengan simbol 1-0 pada pengujian statistik mengira dia adalah laki-laki feminin dan menandai ia “nol” dalam maskulinitas. Kan nyakitin yha~~~ Lha kon sopo, kenal ora, nuduhan iyo. Wkwkwk. Menariknya Guru ini selalu mengajarkan “kamu sudah diajarin beberapa macam paradigma, kamu bisa jadi yang lebih paham dari yang kamu hadapi, sudah, ngalah aja. Atau cari alternatif cara menghadapinya. Lulusan sini, yang dapat mata kuliah Multiparadigma harusnya bisa ngadepin orang dengan lebih cerdas.” Si Gadis paham hal ini, tapi dalam beberapa hal ia tak dapat setuju begitu saja. Jadi idealis kadang tak dapat banyak teman, tapi sekalinya ada yang menemaninya, ia sekufu, sepaham, sevisi misi. Ndak kayak anak balita yang bisa diculik om-om atau tante-tante asing dengan tawaran es krim atau permen. “Maaf ya, yang lebih mahal, ada?”
#lho
#marikemanamana
:)))

0 komentar:

Posting Komentar