Pasti nak kanak
kuantitatif dan positivist njawab,”Sayaaa!”
Wkwkwk
Jadi, pada suatu hari,
di penghujung hari yang melelahkan jiwa raga menghadapi manusia dengan
kepribadian berbeda (mulai jam 7 pagi kepanitiaan sampai ngajar, kepanitiaan
lagi, ngajar lagi, bimbing skripsi, lanjut bimbing PKM sampai jam 7 malam
nonstop dan setelah itu masih ditunggu kegiatan di lingkungan rumah), emosiku
tak terkontrol lagi. Mungkin karena tekanan kanan kiri oke, sakit lahir batin datang
bulan, ditambah bumbu pernyataan kurang bersahabat, kekecewaan dan kurang
empatinya sekitar, untuk yang pertama kalinya aku marah. Aku tidak sabar dengan
cara yang tidak elegan. Pernyataan,”Bu ela, semangat bu..” tidak berhasil
meredam panas dalam hamba di kelas.
Saat sesi terakhir, pembimbingan
PKM, entah menyimpulkan dari gerak gerik ibunya yang aneh atau ia sudah dengar
dari anak kelas sebelumnya, ia bertanya. Menohok.
“Bu Ela, dapat berapa
(Rupiah) kok dibela-belain sampai lembur gini, banyak ya bu?”
Aku ketawa dan
menyebut tarif honorarium bimbingan skripsi per semester, karena sebelumnya dia
menyaksikan ibunya membimbing kakak-kakaknya skripsi dengan yaaa…agak nggak
sabar kayak biasanya.
“HAH? Terus ibu kenapa
masih terus malem-malem gini?”
“Kewajiban moral saya
mungkin,” aku tersenyum sambil mikir semoga anakku tidak mengganggap idealisku
adalah bahan lelucon.
“Hweee..kan itu rugi, bu. Dapet segitu, bu ela capek
sampai lembur-lembur.”
“Itu kan secara
materi. Tapi saya aslinya untung. Dapat pahala.”
“…”
“Kalau kamu nggak
percaya saya untung, coba temuin malaikat yang sedang bertugas mencatat amalan
saya. Tanya sana, saya banyakan dosanya apa amal baiknya.”
Ketiga anak yang ada
di kelas tertawa.
…
“Bu ela ajarin saya
pake aplikasi ini, bu. Ayolah bu, nanti saya janji ajarin yang lain, biar bu
ela pahalanya tambah banyak kalo ilmunya mengalir.”
…
Ya Gusti Maha Pembolak
Balik Hati, mood-ku yang anjlok seharian tiba-tiba kembali. Anak ini sedang
berjuang menunjukkan kepada dunia bahwa kecerdasaan intelektual tanpa adanya
emosional dan spiritual adalah percuma. Ia sedang berjuang melawan blok
pikirannya sendiri bahwa berfikir out-of-gedebog itu bukan kesalahan dan
keanehan, tapi keluwesan dan jalan menuju-Nya. Ia sedang melawan persepsi orang
sekitar bahwa semuanya harus serba terukur. Ia sedang belajar menulis keluar
dari paradigma itu-itu aja. Kalaupun ia kalah melawan kekakuan justifikasi positivist,
ia tetap menang di hati ibunya. Ia menang melawan pola pikir sekitarnya dan
seusianya. Ia justru adalah bukti dari apa yang ia tulis, yang orang-orang
ragukan. Ia melampaui apa yang anak akuntansi bisa hitung, pendapatan – beban =
laba/rugi.
Aku dan anakku, kepada
siapa hatiku dan ilmuku kuwariskan.
Madiun, 19 Juni 2019