Senin, 17 Juni 2019

Nerimo


Seorang gadis menatap pembicara yang menurutnya cantik dan cerdas dari kejauhan. Saat itu, si gadis menyaksikan tayangan video yang kata si pembicara harus direnungkan. Video itu bercerita soal wawancara pedagang kecil yang menyatakan “ikhlas” saat dagangannya tidak laku. Saat itu, merupakan sebuah hal yang sulit untuk mengolah makna di balik tayangan wawancara “ikhlas” itu. Pikirnya,”Kan emang sudah rezekinya segitu sebagai pedagang kecil, ya udah ikhlas aja. Apa salahnya?”
Ternyata itu salah. Kemudian sang pembicara menyatakan bahwa yang katanya “rezeki” itu bisa jadi buah dari Political Economic of Accounting (PEA). Kemana keberpihakan si pemilik kuasa, ya ke arah itulah “rezeki” itu akan mengalir. Saat itu ada quote yang bagus sekali diutarakan oleh sang pembicara, “Ikhlas atau nerimo itu adalah pasrah menerima ketetapanNya tapi tidak menyerah begitu saja.” Kitra-kira begitu. Sampai saat ini si gadis masih belum mengingat kalimat pasti dan asal muasalnya.
Malam ini ingatan itu terungkit karena kata “ikhlas” yang salah penempatan bahkan sering digunakan orang untuk menyakiti orang lain. “Saya ikhlas dihina karena saya memang menyebalkan.” Atau “Saya ikhlas disingkirkan lhawong saya memang bukan siapa-siapa.” Ke-bukan-siapa-siapa-an itu harusnya ketundukan kepada Sang Pencipta, bukan justifikasi kesewenangan atau alasan tidak mau berusaha. Entah kenapa potongan ingatan itu membakar semangat gadis itu untuk menemukan kebebasan dan cinta sejati. Untuk Kembali.

Dalam air mata perlawanan,
Madiun, 17-6-2019

0 komentar:

Posting Komentar