Seorang gadis menatap
pembicara yang menurutnya cantik dan cerdas dari kejauhan. Saat itu, si gadis
menyaksikan tayangan video yang kata si pembicara harus direnungkan. Video itu
bercerita soal wawancara pedagang kecil yang menyatakan “ikhlas” saat
dagangannya tidak laku. Saat itu, merupakan sebuah hal yang sulit untuk
mengolah makna di balik tayangan wawancara “ikhlas” itu. Pikirnya,”Kan emang
sudah rezekinya segitu sebagai pedagang kecil, ya udah ikhlas aja. Apa
salahnya?”
Ternyata itu salah.
Kemudian sang pembicara menyatakan bahwa yang katanya “rezeki” itu bisa jadi
buah dari Political Economic of Accounting (PEA). Kemana keberpihakan si
pemilik kuasa, ya ke arah itulah “rezeki” itu akan mengalir. Saat itu ada quote
yang bagus sekali diutarakan oleh sang pembicara, “Ikhlas atau nerimo itu
adalah pasrah menerima ketetapanNya tapi tidak menyerah begitu saja.”
Kitra-kira begitu. Sampai saat ini si gadis masih belum mengingat kalimat pasti
dan asal muasalnya.
Malam ini ingatan itu
terungkit karena kata “ikhlas” yang salah penempatan bahkan sering digunakan
orang untuk menyakiti orang lain. “Saya ikhlas dihina karena saya memang menyebalkan.”
Atau “Saya ikhlas disingkirkan lhawong saya memang bukan siapa-siapa.” Ke-bukan-siapa-siapa-an
itu harusnya ketundukan kepada Sang Pencipta, bukan justifikasi kesewenangan
atau alasan tidak mau berusaha. Entah kenapa potongan ingatan itu membakar
semangat gadis itu untuk menemukan kebebasan dan cinta sejati. Untuk Kembali.
Dalam air mata
perlawanan,
Madiun, 17-6-2019
0 komentar:
Posting Komentar