Selasa, 28 Januari 2020

Kecelakaan Beruntun

Saat itu aku baru sampai di rumah duka. Terlihat lengang dari halaman depan. Wajar, aku menuruti kata hati ke kantor dulu untuk membimbing anak, baru siangnya mampir ke blok sebelah untuk takziah. Aku mengintip ruang tamu, masih ada tikar tergelar. Segera ada wanita yang menyambutku saat aku mengucapkan salam. Aku duduk dengan manis setelah bersalaman dengan si wanita, lalu pada empat orang ibu-ibu yang kuduga sama-sama pelayat, pada seorang bapak yang terlihat lelah melayani tamu, lalu ada seorang laki-laki muda mungkin sedikit lebih tua daripada aku.
Lelaki tua terlihat mencoba mengenaliku. Kusebut nama papaku, yang akhirnya dapat memahamkan beliau sekaligus membuka memori masa mudanya. Sekumpulan ibu-ibu itu rupanya paham arah pembicaraan akan berubah mengepoiku dan mereka tak tertarik, lalu memutuskan pamit. Seperti biasa, ada pelayat yang akan mendoakan secara lantang,"Semoga almarhumah ibu diampuni dosa-dosanya nggih. Diterima amal ibadahnya..."
Semua sepakat mengaminkan sebelum si ibu menunjuk wanita muda yang tadi menyambutku,"...sama mbaknya, sampeyan belum punya momongan kan? Segera lho yaa.."
Sejenak batinku berbisik kurang ajar atas kekurang ajaran ibu yang satu ini. Suasana duka berubah canggung, si wanita hanya tersenyum. Laki-laki di sebelahnya mengangguk saja. Oh, ternyata suami-istri toh.
Ibu-ibu itu bergegas pulang setelah puas ber'empati'. Si bapak tua lalu segera menjadikanku tokoh utama dalam obrolan. Aku mengimbanginya dengan bertanya almarhumah sakit apa, dimakamkan jam berapa, dan lain sebagainya. Tapi lagi-lagi si bapak seperti tanpa koma dan jeda mengembalikan cerita ke arahku,"Mbak putranya sudah berapa?" Mungkin beliau menghitung usia papa mamaku yang seharusnya sudah menggendong beberapa cucu sebelum tiada.
"Belum. Saya masih single,"kataku santai.
"Lho kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kenapa kok belum menikah?"
"Ya kan belum ketemu jodohnya,"kataku yang justru tertawa dalam hati. Pertanyaan retoris wkwkwk.
"Lho kok belum sih? Kok terlambat?"kata beliau mengejar.
Mak deg. Dia ngremehin Gusti Allah nih. "Maaf, pak. Urusan jodoh itu nggak ada kata terlambat atau kecepetan. Semua sudah diatur," aku melirik lelaki muda yang duduk diam sedari tadi mulai mengangguk-angguk.
Kalau aku telat menemukan jodohku, berarti putra bapak kecepetan nikah dong? Lha wong belum dikasi keturunan..
Imajinasiku mulai kurang ajar.
Astaghfirullah.
"
Semua rezeki juga Allah yang ngatur. Kalau memang belum saatnya, ya namanya bukan terlambat juga kan?" kataku masih dalam kuasa nada merdu, tak meninggi.
Lelaki muda di depanku semakin lebar senyumnya dan anggukannya bertambah sekian kali. Sayangnya, istrinya sudah masuk dan menghilang setelah rombongan ibu-ibu tadi pulang. Ya Allah, pak.. Anakmu pak, anakmu.. Kok aku yang gemes sih.. Kok aku yang belain sih..
"Oh yaya, semuanya Tuhan yang ngatur ya.." kata si bapak dengan pandangan menerawang.
Jadi, selama ini apa yang kau pikirkan kisanak, soal jodoh, rezeki dan segalanya dalam hidup? Masalah cepet-cepetan? Ibu panjenengan barusan meninggal dalam usia 97. Papaku dalam usia 73 meninggal dunia. Itu juga masalah siapa yang paling cepat? Aku mencoba mengendalikan perdebatan dalam diriku.

Kurasa pembahasan ini harus diakhiri dengan mengucap,"Maaf pak, saya harus kembali ke kantor sekarang. Jam istirahat habis."
Alhamdulillah.
Kecelakaan beruntun dari hati ke hati itu semoga sukses membentur pikiran peniadaan Tuhan pada keseharian. Kalau rangka kendaraan dapat saling hantam dan penyok, maka kata-kata dapat membuat lebamnya hati. Hati-hati. Habluminallah, habluminannas.

0 komentar:

Posting Komentar