Jumat, 10 November 2017

KepadaNya Kita Kembali

Sebuah kalimat yang sering kita dengar tapi sangat berat untuk dihadapi adalah,"Semua adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya. Ada pertemuan, maka ada perpisahan."

Masing-masing dari kita -mayoritas- mengaitkannya dengan masalah cinta antara laki-laki dan perempuan. Jarang yang menyentuh hubungan anak dan orang tua. Tidak, bukannya aku meremehkan perkara jodoh, tapi cinta pertama setiap anak adalah orang tuanya sebelum "diminta" orang. :)

Anak bertemu ibunya pada saat dihembuskannya nyawa pada janin di kandungan, sedangkan anak baru menyadari ayahnya pada saat adzan dikumandangkan di telinga mungilnya. Itu titik temunya. Bagaimana dengan titik pisahnya? Beberapa anak ditakdirkan kehilangan orang tuanya di dunia karena meninggal dunia, sebagian lagi si anaklah yang ditakdirkan meninggalkan orang tuanya duluan.
Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan begitu banyak berita bayi dibuang, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Pada saat itu, keadaan saya masih berduka dan kangen mama (almh). Betapa saya merasa kehidupan tidak adil karena saya kehilangan sosok yang setiap hari saya ajak ngobrol, meminta nasihat, dan berbagi cerita di rumah. Saat melihat berita bayi dibuang itu seketika saya merasa betapa beruntungnya saya karena ada rentang waktu 28 tahun yang diisi penuh kasih sayang bersama mama. Betapa sedihnya saat membayangkan saya menjadi si bayi di berita itu yang tak sempat mengenal orang tuanya, apalagi melewati hari-hari penuh kasih sayang. Jangankan diwarisi cinta, diinginkan saja tidak. :')
Sebelum ngoceh di blog, saya coba menceritakan hasil olah rasa ini ke papa. Kami menangis bersama, mungkin karena kami sama-sama rindu mama, dan sebagian lagi hati kami masih takut akan perpisahan. Papa sebegitu takutnya meninggalkan saya sendirian karena sakit. Tidak jauh berbeda dengan saya, yang takut sendirian menghadapi dunia tanpa orang tua. Kami menangis.
Saat saya bilang saya adalah anak yang beruntung karena diberi waktu untuk mengenal kasih sayang dari orang tua. Papa bilang dia juga beruntung dapat dirawat putrinya saat sakit. Tak ada waktu yang tepat untuk berpisah,saya mengajak papa melewatkan sisa waktu yang entah sampai kapan dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada kekhawatiran soal esok karena kita semua pasti kembali kepadaNya.

Sedangkan, di sisi yang berkebalikan, saya merasa lucu ketika ada yang nyeletuk "mati aku" saat dihadapkan pada ujian kelas. Settingan soal ujian yang dibuat manusia, bukan ujian yang sesungguhnya. Terlalu menggampangkan kematian, eh? :)


RSI Siti Aisyah Madiun, di salah satu pertempuran papa.

Minggu, 29 Oktober 2017

Cintaku Terbalas

"Mau jadi guru atau akuntan, atau berwirausaha itu terserah kalian."
"Tapi aku mau jadi dosen, bu."
💜💜💜

Kamis, 26 Oktober 2017

Kesementaraan itu Membahagiakan

Hari ini aku pusing. Berusaha hilir mudik agar konsentrasi kembali 100% di sela nugas, ada mahasiswi yang baru saja diwisuda tiba-tiba nyeletuk,"Bu, saya yang mengulang di kelas ibu. Terima kasih ya, bu. Saya akhirnya paham. Saya paham lho bu.." sambil tersenyum bahagia.
Mak ceplas! Dari yang berekspektasi disalimi saja, tiba-tiba dapat ucapan begitu.. Bahagianya tuh di sini. 😊💜

Ah siapalah aku. Gusti Allah menitipkan segala ilham itu padaku. Padahal saat jadwal kelas mengulang itu dramanya bukan sekedar pusing, tapi papa kemoterapi dan aku memeluk buku di tempat tidur penunggu pasien. 😊
Otakku..mulutku..badanku hanya perantara, hanya sementara. Semoga ketidakabadian dan keterbatasan semakin membuatku bersyukur dan bahagia. 🙌 aamiin..

Selasa, 03 Oktober 2017

Cara Pandang

Jadi alkisah, ada seorang gadis bertanya di dalam pertemuan akbar sosialisasi sesuatu. Pertanyaan bagai dosen penguji berdasarkan pengalaman dan ketidaktauannya. Deretan pertanyaan itu diselingi suara "ckkk.. Hhh.." dari sesama peserta. Mungkin dipikir gadis itu nampang. Padahal dia malas antri dan berurusan dengan birokrasi untuk nanya langsung ke kantor. Ya pertanyaan yang sama. Toh yang bertanya tidak diberi bingkisan , apalagi poin keaktifan. 😂😂😂
Sampai sini, ada yang masih mempertanyakan kekuatan niat, persepsi, dan cara pandang? 😂

Rabu, 27 September 2017

Hari Keseratus Rindu Mama

Hari ini saya, yang entah kenapa, merasa emosi sekali. Ada beberapa hal yang menurut daya tangkapku sangat menyakitkan. Nggak, bukan saya yang secara langsung ditabok atau dicemplungin sumur atau disakiti dengan cara lainnya.
Ini soal pendidikan. Saya banyak bertanya kenapa anak jaman sekarang semangat sekolahnya gitu amat, apakah karena sayanya yang kurang mampu menyelam ke dunia mereka atau bagaimana. Kenapa harga tetek bengek sekolah begitu tinggi, apakah pola pikir para produsen sudah menganut paham kapitalisme, menjadikan sekolah sebagai modal sehingga alat mencapai kelulusan begitu "dihargai". Kenapa anak-anak mulai mikir nyari ilmu itu nomer sekian, nilai jadi yang utama, apakah mereka juga sama mikir sekolah adalah modal mencari kerja? Bukan ladang ilmu lagi? Institusi apa sekolah itu? Beberapa sudah mengikrarkan dirinya sebagai entitas bisnis, padahal dia diperlakukan sebagai modal. Kan jadi inception kan ya. Kenapa penelitian di luar negeri amat berkembang, sampai menghasilkan ini itu, yang mengubah kehidupan bangsa mereka sendiri. Penelitian itu dijadikan pekerjaan (modal) atau pengabdian ya? Kenapa kenapa yang lain muncul..terus saja begitu..
Sampai akhirnya saya pening dan mbrebes. Hampir setiap hari, pulang pergi kerja saya lewat "rumah baru" mama. Mama yang selalu bertanya dengan lugunya,"kenapa kamu masih belajar? Kok enak sekali yang kamu ajarin?" Hati saya tambah kayak dihujam ketika ingat almarhumah dulu berjuang demi ilmu, bersepeda berkilo-kilo jauhnya demi menuntut ilmu, sampai pegel dan sakitnya mengayuh tidak dirasa lagi. Ilmunya dituntut lho ya, bukan ilmunya menuntut agar dikuasai. Haha. Almarhumah bahkan menego-nego agar bisa sekolah lebih tinggi, tidak hanya jadi ibu rumah tangga. Padahal saya tau benar, almarhumah cerdas luar biasa, dengan bekal melihat, mama bisa meniru hampir semua hal dengan tingkatan hampir sempurna.
Mama..kenapa muridku bukan mama? Kenapa kemudahan anak jaman sekarang bukan mama yang rasakan? Semoga di surga banyak buku ya, ma..
Semoga mama menerima pahala dari setiap ilmu yang mengalir dariku. Aamiin.

Minggu, 17 September 2017

Prekuel Catatan Gadis Penyusup (2)

Beberapa dasawarsa lalu..
Gadis itu menatap pria berbadan tegap yang sangat ia kenal berlalu begitu saja dengan sepedanya, tanpa menyapa, padahal biasanya menggoda, atau curi-curi pandang ke arahnya. Lelaki yang biasanya ia hindari, karena ajaran soal dosa, berkaitan dengan harga diri wanita pula. Biasanya.
...
"Papamu itu cuek ternyata. Ga nyadar ada mama di sampingnya. Lewat aja. Mbablas, ga noleh-noleh," kata wanita itu mengaku. Dari sudut pandangnya, ia gemas ketika suatu waktu tidak diperhatikan oleh lelaki yang ia cintai. Satu-satunya di sepanjang hidupnya. Wanita tua itu terdiam membayangkan masa mudanya.
Putrinya ikut terdiam, karena kaget bukan main.

Rabu, 13 September 2017

Catatan Gadis Penyusup (2)

Lebih dari empat belas purnama..
Di sebuah lorong bermandikan cahaya.
Bingkai hitam yang menatap lurus ke depan,
apakah yang engkau pikirkan?
Langkah tegas tak berpaling.
Tak diacuhkannya si kerudung pink.
Tergambar suatu rancangan dan gadis pujaan,
Satu dari keduanya mungkin di dalam renungan.

Senin, 11 September 2017

Sedikit Lari Dari Kemapanan Konsep Diri (Panganan Opo Iki? Wkwkwk)

Sesuai dengan judulnya, ide tulisan ini terangkat dari jurang imajinasi (percayalah imajinasiku sering membuat geleng-geleng daripada angguk-angguknya :D ) di saat aku lari pagi. Mungkin kita sedikit basi mendengar guyonan “lari dari kenyataan”, tapi lari pagi ini benar adanya merupakan pelarianku dari naiknya berat badan. Hihi.

Beberapa blok kulewatin dengan bekal musik jedag jedug sampai akhirnya kaki melangkah di depan rumah guru olahraga pas jaman SMP. Langsung ingat betapa sakit hatinya dulu pada saat aku dibully karena kegemukan. Kalo dipikir lagi sekarang sih malah lucu ya, kan nggak semua orang terlahir dengan badan kerempeng atau ala pragawati, trus ngapain aku dulu ikut marah-marah geje sampai merutuki diri sendiri karena dikatain orang? Aku masuk menghina ciptaan Tuhan dong ya.. :)

Seorang guru olahraga boleh saja meremehkan anak overweight karena tidak sesuai dengan kriteria “sehat” menurut pandangannya. Beliau kan nggak tau perjuangan anak bongsor dalam mengatur pola makan. Sampai aku pernah kena gejala tipus 3 kali. Mungkin kalo sekali lagi kena, aku bisa dapat hadiah kulkas. Hehe. Beliau nggak tau dan nggak mau tau. That’s the problem.

Itulah definisi kesombongan diri. Kita kadang terlalu memegang teguh apa yang kita anggap benar, sampai menyalah-nyalahkan pandangan orang lain. Kita kadang meremehkan orang lain tanpa memandang usahanya, dan lebih beriorientasi hasil yang tampak. Kita sibuk berbangga diri karena standar diri terlampaui, mengklaim “berkat aku maka ada sesuatu”, ih emang situ Tuhan? Mak jedyer, kun fayakun? wkwkwk

Lain cerita, sore ini aku dan salah satu kolega bercanda tentang pemaknaan teks. Aku dengan khayalan yang bikin geleng-geleng itu mulai bercanda nggak karuan. Tanpa berniat dan berprasangka buruk, dia bertanya kepadaku yang kira-kira,”Kok bisa sih kayak gitu salah interpretasi?”.
Kujawab,”Lho dulu item pertanyaan kuesionerku pas penelitian aja bisa salah dimaknai (sama responden) kok, bu.” Ya, apalagi pernyataan atau kondisi umum. Masing-masing orang memiliki kemampuan berbeda dalam memahami, kecerdasan, emosional, pengalaman, latar belakang keluarga, lingkungan, teman-teman yang diajak bertukar pikiran, dan banyak hal lain yang berbeda.
Aku nggak mau sok iyes memprediksi kemampuan seseorang untuk meyakini sesuatu, karena kuyakini determinan suatu hal itu tak terbatas jumlahnya, hanya Tuhan yang tau. Daripada aku harus menyebutkan istilah “error” layaknya paradigma statistika. Mau dibagi menurut pandangan orang yang selalu berpikir positif dengan yang buruk itupun memuat banyak dimensi. Kita bisa saja menganggap orang yang terlalu pasrah atau berlindung mengikuti arus sebagai orang yang lemah dan terlalu positive thinking menghadapi segala hal sampai pada hal yang sifat menjajah dirinya sendiri. Kita bisa saja menganggap orang yang cerdas dan visioner sebagai orang yang selalu menangkap hal buruk dari segala sesuatu sehingga kita mengatainya orang garis keras, nggak santay beudh atau selalu negative thinking. Mau nangkep dari dimensi terlalu positif atau terlalu negatif juga bisa. Kebiasaan bisa mengakar sampai level overdosis, menangkap segala sesuatu selalu baik atau selalu buruk, padahal yang keterlaluan itu tidak baik.

Pusing nggak nih? Hihi.

Kesimpulannya, jangan sok iyes. Bisa aja kamu salah, sisakan kemungkinan yakinmu tidak tepat. Bisa aja dia yang salah, atau mereka, atau kami, bahkan kita yang salah. Seluas-luasnya pandangan, masih ada yang lebih luas. Kamu nggak tau yang ia atau mereka alami, pembentuk “ia” atau “mereka” yang menyebabkan munculnya keyakinan tertentu.

Ah, kayaknya yang baca tambah pusing. Akupun pusing saat mengurai ideku kali ini. Hihi. Tulisan perdana setelah melalui masa kehilangan sang surya, yang diangkat dari jurang imajinasi dan beberapa pengalaman yang diizinkan melintas yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Hahaha.
Semoga menjadi pelajaran untukku untuk selalu menjaga asumsi, perbuatan, dan lisan.

Senin, 26 Juni 2017

Berhala Gaya Baru: Menyembah Ego

Ujian kehidupan itu tak mesti yang tampak nyata atau hadir pada tema besarnya. Ada hal-hal yang kita pikir “wajar”, tapi Yang Satu mulai diduakan.

Mamaku pergi untuk selamanya. Lebih dari kehilangan sosok mama jasmaniyah, aku sempat trauma pada detik-detik mama dicabut nyawanya. Saat memori itu lewat, nyawaku tercerabut. Setiap pagi aku menangis, semakin keras saat orang-orang ingin tau cerita detilnya saat takziah. Aku mati rasa atas hingar bingar Lebaran. Setiap dari kita pasti pernah patah hati. Rasanya kali ini, milyaran kali lebih menyakitkan.

Patah hatiku mengganda saat melihat papa berteriak histeris saat mengenang mama. Kupahami, mereka lebih dari sepasang suami-istri, mereka rekan seperjuangan, kakak dan adik yang saling memanjakan dan menjaga, teman belajar otodidak, cinta pertama dan terakhir. Papa merasa karenanyalah, kesehatan mama memburuk, yaitu saat papa ditakdirkan menjalani kemoterapi. Kenyataannya adalah, tanpa papa ketahui, tahun lalu mama pernah bersumpah nyawanya seperti dicabut saat papa sakit. Di sinilah isak tangisku muncul lagi dan lagi karena pada waktu dan tempat yang berbeda, keduanya saling menyatakan cinta dan sayang melalui diriku. Keduanya saling jaga, saling rindu. Kehilangan salah satunya, aku seperti dipukul mundur, lebih baik mengurung diri atau menyibukkan diri sampai aku lupa kenapa aku harus bersedih.

Aku di sudut hatiku yang paling dalam mengajukan protes kepada Tuhan, kenapa mama diambil sebelum aku bisa memberikan sesuatu yang berarti, kenapa aku tak diizinkan terlebih dahulu minta maaf sebanyak-banyaknya, kenapa aku tak diizinkan menikah dengan mama di sampingku atau setidaknya mama mengenal calon mantunya, kenapa aku tak diizinkan menyandang gelar Doktor..kenapa... Keadaan semakin parah karena aku tau mama adalah wanita sederhana dengan segudang cita-cita. Aku terus menangisi kesempatan-kesempatan yang tidak diperoleh mama. Aku yang ekstrovert berubah menjadi introvert, malas berbicara. Tapi lagi-lagi, menjelang subuh, aku kembali menangis dan mengomel. Tuhan kali ini mengizinkan adik mama satu-satunya untuk tinggal beberapa hari bersamaku. Ohya, aku hanya tinggal berempat di kota kecil ini: mama, papa, aku, dan kakak. Seandainya tidak ada orang terdekat yang kuajak bicara selama beberapa hari semenjak mama tiada, mungkin “ela”-lah yang tiada. Biasanya mama yang mendengarkan ceritaku, segalanya.
Lukaku masih belum sembuh benar saat tante harus pulang. Kini aku sendirian harus menjaga dan membesarkan hati papa. Kami menangis berdua saat tamu menanyakan cerita itu lagi. Kami menangis saat kami tidak sengaja memanggil mama saat kami tak bisa melepaskan kebiasaan pamit atau mengajak semua anggota keluarga untuk melakukan suatu hal bersama-sama.

Sampai suatu saat..
Aku merenung dan bertanya darimana datangnya kesedihan ini.

Aku adalah orang mengikuti kondisi kesehatan mama, tau betapa sakitnya mama pada saat terakhir dan betapa lemah kondisi mama setahun terakhir. Mama meninggal layaknya orang tertidur, cantik. Saat menatap jenazah mama, aku membayangkan mama yang terbebas dari tubuh renta dan segala rasa sakit itu. Mama selalu menahan sakit itu sendirian, sebelum mau bercerita kepada orang lain. Ketika ada kalimat ucapan duka cita yang bilang “Allah sayang mamanya Ela”, aku mengartikannya sebagai pembebasan dari segala sakit duniawi. Anak macam apa yang tega melihat orang tuanya kesakitan? Jika pengobatan dan doa adalah cara mencapai kesembuhan, bagaimana jika dicabutnya nyawa adalah cara satu-satunya mengakhiri rasa sakit? Mahluk macam apa yang menentang keputusan Tuhannya? Dan aku.. Aku ingin menunda lepasnya nyawa dan badan karena pencapaian-pencapaian dunia yang ingin kutunjukkan pada mama. Aku yang menginginkan mama masih di sini karena aku ingin melihat wujudnya mendampingiku, tanpa mengetahui penderitaan macam apa mungkin disimpan mama. Semua itu soal egoku, (mungkin juga) ego mama. Aku berusaha menawar, menentang, mempertanyakan keputusan Tuhan, karena ego. Seolah ego lebih tinggi derajatnya daripada Tuhan.
Pada saat mama tiada, aku baru mengetahui betapa mama bangga atas pencapaianku selama ini, betapa mama baik kepada sesama dari pendapat orang lain. Kusangka mama belum begitu puas, ternyata mama bangga. Dapat kusimpulkan, umur memang terbatas, kebutuhan pencapaian duniawi jika dituruti jadinya memabukkan, namun amal dan perbuatan akan dikenang.
Diambilnya mama dari dunia adalah takdir, kewajibanku kini adalah menyelamatkan mama dari sempitnya kubur, serta menjaga papa layaknya mama. Egoku harus diselesaikan melalui perjuangan. Ego mama harus dituntaskan melalui mengalirnya nilai-nilai kebaikan dari mama untukku, dan untuk semesta. Ada alasan kenapa seorang Cahaya lahir dari rahim Matahari. Semoga Allah merestui perjuanganku.
Aamiin.


Dalam kenangan tak terbatas,

Mama, Suryaku, Suryaningsih.

Minggu, 21 Mei 2017

Papa

Papa adalah orang pertama yang kuuji kesabarannya dengan segala “kejahilanku”. Bahkan dari pertama kali aku menghirup udara di bumi, papa adalah lelaki yang memacu kendaraannya dengan kalap karena dipikirnya aku tiada sesaat setelah hadir di peluknya. Nyatanya aku masih hidup.

Papa adalah lelaki pertama yang kusungkani karena ketegasannya, kasih sayangnya kepada istri dan anaknya, ngamuk tingkat tinggi jika tau putrinya diganggu walau itu hanya seekor nyamuk. Kami sama keras kepalanya, tapi aku sungkan dan hormat, bukan takut padanya. Papa adalah komisi disiplinku pada saat masih kecil. Maafkan aku, pa. Mungkin aku menjengkelkan karena selalu mempertanyakan aturanmu. Kalau aku tidak yakin, ya tidak kukerjakan.

Papa adalah orang yang mendengarkanku, walau terkesan cuek dan cool, lalu memberi masukan yang rasional, meskipun akhirnya ikut baper karena ada hati yang lembut di balik wajahnya yang sangar. Justru karena lelaki tidak mudah mengekspresikan emosi, bapernya berasa shocking soda.

Papa adalah lelaki yang menganggap suaraku paracetamol sekaligus penurun asam lambung. Papa adalah lelaki yang selalu menggumam “anakku sudah makan apa belum ya”, saat menyendok makanannya sendiri di rumah.

Papa adalah orang yang ngambek saat melihatku terus lembur saat kejar deadline. Papa terlalu khawatir aku sakit, tapi jatohnya marah-marah. Penjelasanku dicuekin, apalah deadline itu. wkwkwk

Papa adalah cowok cakep luar-dalam, yang bikin aku iri sama mama, “beruntung sekali wanita berjodoh sama cowok secakep papa.” Dan itu kuucapkan frontal di depan keduanya. Biasanya, papa senyum cakep 1000000000 kali lipat, dengan sedikit bergaya. Dan mama melengos sambil berusaha mementahkan argumentasi dengan malu-malu. That's love! :)

Papa dan aku adalah tim usil yang setia ngisengin mama. Kami suka bercanda, kalau sudah duet, mama yang sebal. Mungkin karena sering jadi korban. Hehe.

Papa adalah lelaki setia, yang walau banyak fans, hanya satu wanita yang selalu diperlakukan secara romantis: mama. Mungkin aku membenci perganjenan juga karena mengamati dan mendengarkan masa muda orang tua. Hehe

Papa adalah orang yang membebaskanku tidak berhijab, karena diinginkannya aku beribadah sesuai kesadaranku saat dewasa. Aku malah berhijab dan melaksanakan kewajibanku sebagai muslimah bukan karena amukan atau suruhan papa, melainkan contoh darinya. Aku juga mengenal kemakrifatan, tidak berhenti di syariah karena papa. Aku tidak disuruh untuk mengikuti, tapi aku membaca apa yang papa baca. Pelajaran ketauhidan pertamaku. Kata orang mungkin aneh, tapi aku suka. Aku yakin atas pembahasan "kemana-mana" itu.

Papa juga yang mengajariku menghargai perbedaan, baik perbedaan agama, ras, suku. Papa selalu kasi contoh cerita di kampung halamannya dulu, dimana kampung Madura, kampung Arab, dan kampung Cina bisa hidup berdampingan dan bahkan saling mendoakan. Kakekku yang asli Madura selalu dimintai tolong temannya, etnis Tionghoa, untuk selamatan jika beli truk baru dan mau beroperasi. :)

Papa adalah pasien pertamaku yang kurawat sepenuh hati, walau aku sekarang adalah akuntan pendidik, bukan dokter seperti yang orang tua harapkan. Papa juga adalah orang yang ditakuti orang sekitarnya, tapi malah takut padaku jika sudah ada dasar yang pasti dan aku menuntut kedisiplinan yang sama dari papa. Haha.

Papa. Papa. Papa.
Sembuhlah pa. Kalau Allah mengizinkan, papa yang menikahkanku kelak dengan orang yang mirip dengan papa. Karena aku putrimu, aku ingin putra putriku juga tak jauh dari warisanmu. Aku fans papa. Aku putri bungsumu yang belum bisa ngasi apa-apa.

Sembuh ya, pa..

Kamis, 27 April 2017

Cinta Dalam Pandangan Saya

Pernah aku tak mau mendefinisikan jatuh cinta itu apa.

Pandangan ilmiah menyatakan jatuh cinta itu proses membau wanita kepada pria sehingga memicu bla bla bla..

Zat dalam coklat juga dipercaya setara dengan hormon tertentu saat jatuh cinta. Kehadiran seseorang masa seharga sebatang coklat? Hihihi.

Ada pula yang membuat seminar cinta untuk politisasi penemuan jodoh. Sampai majalah remaja dan artikel daring pun acapkali menyediakan tips cara memikat si dia dan ciri-ciri ia jatuh cinta padamu.

Motivator membuat pernyataan jika tidak kehilangan logika, bukan cinta namanya. Ah, jangan-jangan ini cinta buta atau kebenaran yang ditangkap dari pengalamannya semata.

Para wanita lajangpun sibuk membicarakan kriteria pria yang ideal menjadi jodohnya. Padahal semakin tua, semakin kurasakan perasaan itu tak bisa tercipta semudah melengkapi checklist.

Ada yang bilang, ia yang rela menunggumu dan menghubungimu setiap saat adalah mereka yang mencintaimu penuh kesungguhan. Aku bertanya, apakah yang semacam ini akan berlangsung selamanya? Jika sudah seatap seiya setidak sekata sekalimat separagraf janji suci, yakinkah tidak merasa bosan? Padahal manusia tercipta tak ada yang sama. Berusahalah sesuai ukurannya. Kadang aku menjumpai cerita orang pacaran kalau makan suap-suapan, setelah menikah malah nggak ada romantisnya. Lucu. :D

Kuamati pasangan yang melalui tahapan bertemu setiap hari, berbincang setiap kesempatan, lalu pacaran. Pacaranpun kalau putus seolah aib jika menjomblo terlalu lama dan tidak segera menemukan yang baru. Mengapa memangnya kalau tidak melalui tahapan itu? Misalnya cara yang semi nonmainstream seperti mengetahui keluarganya, lingkungannya, atau yang super aneh, yaitu berdebat sampai tingkatan langit ketujuh terlebih dahulu? Kupikir itu lebih adil, karena segala pencitraan berlebihan tak diberi kesempatan. Mengapa selalu mengandalkan analisis yang tampak, sedangkan wanita unggul dalam berfirasat? Hehe.

Pada beberapa orang yang sakit hati, kutemui rasa tidak percaya akan masa depan yang masih suci. Masalah lama dan cinta searah masih diungkit, seolah hal itu adalah sampel untuk populasi: semua lawan jenis di dunia sama aja. Aku kayaknya pernah nulis, kalau waktu ga akan pernah menyembuhkan luka, kalau dirinya sendiri ga berusaha. Trus nanti datang tuduhan sama orang yang sudah menguasai ilmu feel free kayak aku, dikiranya ga pernah jatuh cinta, ga normal. Lho jangan salah, setiap orang yang datang di hidupku, apapun niatnya, apapun ceritanya, membantu mengasah “berlian”ku kok. Hehe. #ifyouknowwhatimean

Pertanyaan terakhir, apakah perilaku seseorang is always to predict and to explain? Karena kalimat-kalimat yang kutulis di atas itu sifatnya teori, kesimpulan manusia, tak mesti berlaku untuk semua keadaan.

Aku tak pernah merencanakan kepada siapa aku tertambat.

Pernah ku mengetik kata-kata indah, lalu kuhapus karena malu atau kecewa.
Mengapa?
Kupikir aku yang labil. Ternyata aku membongkar teoriku sendiri. Tak ada yang abadi. Perjalanan harus bergerak maju, siap direvisi, agar tak terkungkung dalam satu paradigma. Haha. Kalau ngeyel di situ-situ aja, udah sempit, kuno, egois lagi. Hehehe.
Eniwey, saya menertawai Ela sebelum detik postingan ini dibuat. Kalau mau ketawa bareng-bareng, nggih monggo.. :D

---

Karena kujatuh cinta, kujadi bertanya. Tak jadi menjawab, namun terus mencari. Kini, tak pernah kurencanakan aku tersipu karena apa, hal-hal kecil terkoneksi pada siapa, bahkan ia tak mungkin tau betapa kagetnya aku oleh hal-hal sepele –bagi orang lain- namun gencar membuatku tersipu.
Kalau kuminta hal serupa terjadi padanya, ah aku transaksional. Salah satu sifat yang kubenci, karena memicu ada apanya, bukan apa adanya.

Aku dalam kepasrahan mendalam, memohon keselamatan kepadaNya untuknya. Kalau memang ditakdirkan bersatu, ya dia akan melamar karena keyakinan mendalam soalku. Jika tidak? Ia diberi keraguan untuk menyelamatkan kami dalam jalan masing-masing.

Bukankah segala yang terjadi atas kehendakNya? Ia akan memantik api kesungguhan, hanya karena Ia lah segalanya padam. Jatuh cinta itu rezeki, aku rahmat baginya, ia rahmat bagiku, berdua memeluk semesta.

Cinta, dalam sudut pandang wanita (yang seperti saya).

Selasa, 14 Februari 2017

Komedi Anak Akuntansi

"Lho katamu aku disuruh tunggu di gedung F, malah kamunya udah di gedung G. Aku udah di sini, kamu suruh tunggu di sana? Gimana sih?"kataku.

"Lho aku nggak maksud gitu. Kecepatanmu untuk datang lebih daripada permintaanku untuk nunggu. Jadi ya udah, kita ketemu di sini." justifikasinya.

"Oke, stop! Kamu tau siapa yang salah di sini?" balasku.

"Siapa?" tantangnya.

"Gaya gravitasi! Gravitasi hatimu membuat aku cepat ketarik ke sini. Ke ruangan ini."

EAAAAAA..

sementara ituu.., adik-adik di ruangan itu yang mendengarkan celotehku dan sahabatku (cewek) langsung nyeletuk,"Aku pusing dengerin mbak berdua ini."

Bwahahahaha

-----------------------

Berfikir jauh ke depan itu penting, tapi menikmati ke-disini-an dan ke-sekarang-an itu lebih penting. Transkrip percakapan ini ditulis saat aku berpikir apakah derai tawaku tadi adalah yang terakhir di kota ini, bersama sahabatku?

Sebuah cerita dari bunga dan pohon di taman yang sama.
Terima kasih telah berjuang bersamaku, AIK.

------------------------

Peringatan:
Jangan pernah berharap wajah kami serius, karena hahaha.., ekspektasimu mungkin jauh lebih tinggi daripada kenyataan, tentang anak pascasarjana, bu ibu dosen, filsuf, atau apalah sebutannya. :D

Senin, 13 Februari 2017

Kehilangan Makna

Saat hujan,
dalam perjalanan pulang..
Aku baru menyadari jalanan lebih lengang, padahal di jam yang sama, sama-sama hari kerja.
Yang membedakan hari ini dengan hari-hari itu adalah.. hujan.
Lalu aku terbahak, apalah gunanya mobil, kendaraan beratap..jika dibandingkan dengan sepeda motorku. Apalah gunanya jas hujan.. Apalah gunanya payung..
Kenapa hujan begitu menakutkan?
Dengan kata lain, mobil kehilangan fungsinya untuk melindungi pengendara dan barang-barang di dalamnya dari cuaca.
Jas hujan dan payung juga kehilangan fungsinya untuk jadi alat bantu menembus hujan, hanya karena orang-orang takut basah.
Takut basah. Takut keluar. Terlalu banyak ketakutan yang menghalangi kita bersenang-senang.
Waktu untuk pulang dan hujan tak terlalu deras, mau takut apa lagi? Takut baju basah dan make up luntur? Buat apa? Rumah adalah tempat yang hangat yang menerima kita apa adanya. Mau sampai ke rumah dengan acak-acakan, pintu itu akan selalu terbuka. Jika ada orang yang kusayangi menunggu di rumah, buat apa menunda pulang? tidakkah kau khawatir bahwa ia (mereka) di rumah mencemaskanmu? Sepadankah dengan hujan yang tak terlalu deras?
Ah, sudahlah. Belum tentu mereka yang berkendara lebih elit padaku bertujuan pulang. Bisa jadi mau belanja, jalan-jalan, tak punya tujuan, atau tak punya rumah yang hangat. Jangan-jangan pandanganku yang terlalu normatif. Yang seharusnya. Lho, tetapi kan aku melakukannya.

Lebih kasihan lagi jas hujan dan payung. Dibeli tapi belum tentu dipakai. Dicari tapi kehilangan makna intinya.

terpekik kegirangan saat melintasi genangan,
penutup dalam bab perjuangan kali ini,

Cahaya.

Keakuan

Aku. Aku. Aku.
Dunia hanya untukku.
Kubagi sedikit untuk yang lain.
Agar aku terlihat dermawan.
Aku. Aku. Aku.
Apalah arti kita, jika aku lebih daripada kamu.
Jika kusedih, kau kawan.
Jika bahagia, kau kulupakan.
Aku. Aku. Aku.
Aku adalah prioritas.
Pentingmu tak pantas.
Aku aku. Kamu kamu.
Aku. Aku. Aku.
Pokoknya aku.
Kau mengadu pada Tuhan?
Aku lebih sering menyebutnya dengan fasih, nyaring.
Kau bisa lihat kan?
Tuhan pasti akan berpihak padaku.
Aku. Aku. Aku.

Baiklah..
Semuanya ayo bersorak... Aku. Aku. Aku.
Bahkan dunia punya hak berhenti berputar.
Buat apa terus mengelilingi tata surya,
manusia cuma bisa menyampah.
Tabrakkan saja ke mekurius atau venus.
Karena aku ya aku.

..sebuah ucapan bela sungkawa tentang keakuan yang tinggi.
Langkanya kami, kita, kalian, mereka, dan empati yang memanusiakan manusia.

Interpretif Kecil Kecilan

Tahun lalu, saat aku penelitian.. dan menyebar kuesioner.. salah satu responden menolakku dengan kata-kata yang menurutku menyakitkan karena ia tidak paham. Katanya,”Anak UB itu kok banyak ke tempat saya. Coba ke lain saja.”
Wanita ini  adalah salah satu pengusaha di sebuah kampung di Malang dan tempat usahanya bisa dibilang lumayan besar apabila dibandingkan tetangganya. Harapanku kala itu besar sekali untuk mendapatkan responnya. Penolakan adalah hal biasa, asalkan dilakukan dengan halus. Toh saya tidak maksa. Kata sahabat saya, “Tidak hanya memberi, menerima juga harus ikhlas.” Yang dimaksud adalah mau diterima maupun ditolak, kita harus terima, tidak boleh memaksa juga. Nah, dalam kasusku, aku dengan kemampuan “kemana-mana”ku, menangkap segala pernyataan sombong di semua jawaban yang dilontarkan wanita pengusaha itu saat aku menjelaskan dengan sopan. Kalau (boleh) saya intisarikan, dia ingin pengusaha lainnya di kampung itu juga didatangi untuk objek penelitian. Aku tidak menganalisa tanpa bukti.
Pertama, dua hari berturut-turut aku ke tempat usaha itu dan berkeliaran di kampung itu, aku sama sekali tidak menemui mahasiswa yang lain, baik yang se-almamater, maupun beda kampus. Tau kan ya, mahasiswa yang lagi penelitian, wajib memakai identitas kampus: jas atau jaket almamater. Banyak peneliti ke tempatnya? Yakin nih?
Kedua, pengusaha lain juga sering dijadikan responden, tidak hanya wanita ini. Pengusaha lain yang dengan tangan terbuka menerima kedatanganku bahkan tidak pernah menyombongkan “berapa kali dia didatangi mahasiswa”, tidak sedikitpun keberatan di dalam kata maupun bahasa tubuh. Bukti di dalam bukti kedua ini aku dapatkan secara tidak sengaja. Saat aku sudah lulus dan bertemu rekan se-objek penelitian, ternyata memang pengusaha lain yang baik hati ini adalah salah satu dari dua orang di kampung tersebut yang bersedia menerima peneliti macam aku, temanku, kami para mahasiswa yang benar-benar penat di-ping-pong birokrasi penelitian.
Hal yang paling mengecewakanku adalah wanita itu menyebut Tuhan dalam status whatsappnya, berfoto di Tanah Suci, namun kata-katanya seolah tak berTuhan.

Mengapa hal lama ini kuungkit lagi?
Bagi seorang melankolis, luka di masa lalu tak sepenuhnya bisa sembuh. Pengungkitnya bisa hal serupa. Hari ini kualami hal serupa dengan tema pendidikan.
Singkat cerita, saat mengurus administrasi, aku menerima calon kuitansi yang salah ketik. Kusebut calon kuitansi, karena belum kutandatangani dan masih di tangan si mbak admin. Ternyata salah ketik itu disebabkan salah paham dia mengenai jumlah SPP yang kubayarkan. Ya, kuingatkan saja soal temuanku.
“Lho mbak ini kok ngerti sih. Padahal kan kuitansinya belum dikasikan,”katanya.
Maksudku aku menghaluskan istilah kepo sekaligus bercanda. “Haha, iya nih kan dari akuntansi. Mungkin pas jiwa auditnya lagi kumat,”kataku nyengir.
“Aku aja kuliah ga dapat apa-apa,”tanggapannya. Nada pedih. Aku turut berduka untuk pernyataannya.
Setelah kutandatangani kuitansi dan menghitung ulang uangnya, kupastikan lagi,”Sudah mbak. Ga ada tanda terima atau apa gitu yang kubawa kan ya?” Mengingat salah satu Surat Keterangan Lulus-ku dibawa olehnya.
“Kan tadi udah tanda tangan kuitansi. Ya udah..Beres.. Di akuntansi diajarin kan?” katanya sinis.
Kecewaku tidak berhenti hanya dari ucapan kasarnya. Kalau kusintesiskan, dia membully dirinya sendiri karena tidak dapat apa-apa semasa kuliah (akuntansi), lalu jengkel dengan orang yang dia kira dapat ilmu lebih darinya saat kuliah, yaitu aku. Selain itu, sebelum melayaniku, kudengar dia mengakui keteledoran yang ia buat terhadap temannya dan menyebut kata “Ya Allah.” Dia berhijab, bahkan lebih menutupi aurat daripada aku jika dilihat dari lebar hijabnya. Tapi apa yang ia perbuat padaku, TUHANNYA DIKEMANAIN,MBAK?? minimal juga kalo ga paham akuntansi, mulutnya harusnya ikut kuliah, tau sopan santun. Aku percaya wanita berkelas tak selalu dari make up atau parfum mahal, atau tak bisa dijustifikasi juga melalui hijabnya, tapi penghadiran Tuhan di kelakuannya.

Refleksinya..
(1) Orang yang sedang "sakit" memiliki kecenderungan menyakiti orang lain, entah lewat apapun itu.. ucapannya, perilakunya, bahkan di jaman terelektronisasi, penyakit itu bisa disebarkan lewat dunia maya. Sejatinya, dia bermasalah dengan dirinya sendiri.
(2) Ya, aku marah. Marah itu kulampiaskan lewat tulisan ini. Balas dendamku berupa pengikisan biji sawi yang tumbuh berupa sifat sombong di hatiku, dengan berkaca betapa tidak elegannya orang “sok” itu. Jika memang sedang bermasalah dengan diri sendiri, hendaknya diam, bukan menyeret yang lainnya ke neraka yang penuh jiwa-jiwa ga tenang dan galau.. Sebelum berbicara, pikiranku harus lebih panjang dari gelarku.. Setelah menyakiti orang lain, kamu mungkin bisa minta maaf, tapi bekas lukanya belum tentu bisa hilang.
(3) Manusia berTuhan tidak akan merusak hubunganNya dengan Penciptanya dan sesama ciptaanNya. Agama bukan hanya simbol. Substansi dan bentuk harus saling berlomba mengungguli. Substansimu. Bentukmu. Untuk menghadirkan Tuhanmu. Hijabmu. Akhlakmu. Untuk mendekat pada Allah.
(4) Anak melankolis harus sering istighfar, latihan putus hubungan emosional sesingkat mungkin. Anak melankolis yang masih lajang tidak mungkin bersama dengan mahluk berperilaku celometan dan kasar. Anak melankolis yang masih lajang dan suka mikir kemana-mana, tidak cocok dengan orang berpikiran kaku, sempit, dan ke”aku”an tinggi. Kalau belum tau, setidaknya ada sistem eliminasi. Lho kan, sistem lagi. wkwkwk, ini sih refleksi yang jauh ke depan banget. :D

Salah benarnya anggapanku, biar Tuhan yang menegurku. Mari belajar jadi versi terbaik. :)