Rupanya gadis ini tak hanya sakit badan. Ia menangkap realitas nano-nano di sekitarnya. Bahwa ada orang yang menilai sebuah hubungan hanya sebatas materi, nama besar, dan perihal duniawi lainnya, masalah tanggung jawab adalah nomor belakang. Ada yang mendekat ketika materi berkilau disuguhkan padanya. Oh, seandainya mereka tau ada orang yang kerja tak berbayar, pasti hujatan GILA yang dilayangkan padanya. Ketika segala sesuatu di sekitar tubuh tak seiya sekata, maka sakit yang terasa, bahkan atom terkecil di dalam tubuh menolak. Proses, bukan hasil. Nilai, bukan materi. Aksi, bukan ngomong aja.
"Kenapa kamu marah-marah? Kenapa kamu gelisah? Tekanan itu datang darimana? Sekitarmu lho baik-baik saja," tanyanya pada diri sendiri.
Jawabnya sendiri, "Aku ingin merdeka! Aku ingin bebas! Aku ingin pergi dari sini, muak melihat segala politik yang mencarut marutkan ikatan darah. Politik pencitraan, sampai kapitalisasi ilmu. Bahkan teori ketidakpercayaan dan manusia utilitarian dalam akuntansi kutolak. Aku alergi, aku jijik. Aku ingin terbang melampaui ilmu itu sendiri, mencari kebenaran. Aku berjanji menyelamatkan dua orang agar dapat bertemu di keabadian."
Entah imam macam apa yang bisa mengendalikan gadis gila macam ini, mungkin lebih gila dan ekstraordinari. Huhu. Terlalu visioner juga membuatmu sakit, wahai gadis.
:)
"Muntahan" di sore hari,
ketika ketikan melampaui pita suara.
Madiun, 15 Juli 2019.
Senin, 15 Juli 2019
Senin, 01 Juli 2019
Reflektif Retrospektif
Ada gadis yang melongo
mendengarkan penjelasan filosofis nan memerdekakan di kelas pengauditan. Sang
Guru berkata, “…jadi kamu mau menangkap fenomena seperti apa? Apakah dalam
kekakuan hubungan antarvariabel atau bagaimana? Apakah iya, realitas dapat
dipahami secara demikian sederhana?” (kira-kira gitu sih ya, maklum si gadis
pelupa wkwkwk)
Sang Guru tersenyum
melihat 9 mahasiswa tampak berfikir di depannya, meskipun beberapa di antaranya
mengakui secara tidak terang-terangan ra
shanggup diajak mikir filosofis. Mau “naik” tapi apadaya “sayapnya” nggak
mengepak kuat, karena memilih untuk mode hari biasa daripada untuk malam hari
(mikir opo hayooo? Huahahaha).
Lalu,
di lain kesempatan di kelas metodologi penelitian positif, dia kena bentak
salah seorang professor, karena bertanya sampel di eksperimen. “GIMANA SIH,
MANA ADA SAMPEL DI EKSPERIMEN?? KAN LANGSUNG DIUJIKAN KE SUBJEKNYA!” Sekilas
amukan itu HANYA ditujukan untuk kegagalpahaman si gadis pada metode penelitian
dan sempat membuat kecil hati atas sangkaan kebodohan diri, puadahalll…di
kemudian hari ia sadar betapa laknatnya menguji coba sesuatu seolah peneliti adalah Tuhan dari
pernyataan tersebut. Opo-opo diuji, dalam kerangka teori,”Cah kae tak ngenekne,
kudune ngefek ngene.” Padahal iyo lek ngene, lek ngono? Hayo piye jal?? Wkwkwk
Positivist
menangkap segala sesuatunya harus terukur, observable, nyata, logika. Wah
gimana nih, AgnezMo yang go international aja sempat nyanyi Tak Ada Logika. Ndak
logis ini, ndak ilmiah, ndak bisa ini, ndak bisaa! Hahaha. Kaum ini menyangka-nyangka sebuah kejadian
hanya sesederhana kerangka teori. Kalau ada Y, maka ada X yang menganu-anu Y.
Waini, anu-nya signifikan positif apa negatif yhaa~~~ gimana yhaa~~~ ditolak
apa diterima yhaa~~~ hahaha. Padahal kalau si X punya pengaruh ke Y tapi R
square nya kecil, nanti lak alasan, ada sesuatu di luar kuasa si peneliti.
Terus ada “error” yang akan diterjemahkan sebagai hubungan X dan Y itu ndak
jadi karena ada yang lain-lain. Lha lain-lain itu apa? Lagi-lagi peneliti akan
mengatakan “itu semua di luar kuasaku”. Iyayalah, coy, semua yang terjadi ini
atas kehendak Sang Pencipta. Terus, kamu ngatain kuasa-Nya sebagai error?
Bagaimanapun,
ada Guru yang lain dari si gadis yang berkata bahwa masing-masing dari kita
punya pandangan berbeda, bahkan dari penampilan sudah bisa dikira-kira dia itu “gimana”.
Lho lak menduga lagi seh, padahal belum tentu lho. Si A pakai baju cerah karena
dia bahagia dan cenderung feminin, padahal setelah ditanya ternyata dia suka pakai baju gelap karena
dia maskulin (gender menurut Hofstede, sepurane
lur, bukan merujuk pada pria wanita), namun hari itu dia pakai baju cerah
karena baju-bajunya yang gelap belum garing di laundry. Yang tiwas menyiapkan
indikator maskulin feminin dengan simbol 1-0 pada pengujian statistik mengira
dia adalah laki-laki feminin dan menandai ia “nol” dalam maskulinitas. Kan
nyakitin yha~~~ Lha kon sopo, kenal ora, nuduhan iyo. Wkwkwk. Menariknya Guru
ini selalu mengajarkan “kamu sudah diajarin beberapa macam paradigma, kamu bisa
jadi yang lebih paham dari yang kamu hadapi, sudah, ngalah aja. Atau cari alternatif
cara menghadapinya. Lulusan sini, yang dapat mata kuliah Multiparadigma
harusnya bisa ngadepin orang dengan lebih cerdas.” Si Gadis paham hal ini, tapi
dalam beberapa hal ia tak dapat setuju begitu saja. Jadi idealis kadang tak
dapat banyak teman, tapi sekalinya ada yang menemaninya, ia sekufu, sepaham,
sevisi misi. Ndak kayak anak balita yang bisa diculik om-om atau tante-tante asing
dengan tawaran es krim atau permen. “Maaf ya, yang lebih mahal, ada?”
#lho
#marikemanamana
:)))
Lokasi: Indonesia
Madiun, Madiun City, East Java, Indonesia