"Lho katamu aku disuruh tunggu di gedung F, malah kamunya udah di gedung G. Aku udah di sini, kamu suruh tunggu di sana? Gimana sih?"kataku.
"Lho aku nggak maksud gitu. Kecepatanmu untuk datang lebih daripada permintaanku untuk nunggu. Jadi ya udah, kita ketemu di sini." justifikasinya.
"Oke, stop! Kamu tau siapa yang salah di sini?" balasku.
"Siapa?" tantangnya.
"Gaya gravitasi! Gravitasi hatimu membuat aku cepat ketarik ke sini. Ke ruangan ini."
EAAAAAA..
sementara ituu.., adik-adik di ruangan itu yang mendengarkan celotehku dan sahabatku (cewek) langsung nyeletuk,"Aku pusing dengerin mbak berdua ini."
Bwahahahaha
-----------------------
Berfikir jauh ke depan itu penting, tapi menikmati ke-disini-an dan ke-sekarang-an itu lebih penting. Transkrip percakapan ini ditulis saat aku berpikir apakah derai tawaku tadi adalah yang terakhir di kota ini, bersama sahabatku?
Sebuah cerita dari bunga dan pohon di taman yang sama.
Terima kasih telah berjuang bersamaku, AIK.
------------------------
Peringatan:
Jangan pernah berharap wajah kami serius, karena hahaha.., ekspektasimu mungkin jauh lebih tinggi daripada kenyataan, tentang anak pascasarjana, bu ibu dosen, filsuf, atau apalah sebutannya. :D
Selasa, 14 Februari 2017
Komedi Anak Akuntansi
Senin, 13 Februari 2017
Kehilangan Makna
Saat hujan,
dalam perjalanan pulang..
Aku baru menyadari jalanan lebih lengang, padahal di jam yang sama, sama-sama hari kerja.
Yang membedakan hari ini dengan hari-hari itu adalah.. hujan.
Lalu aku terbahak, apalah gunanya mobil, kendaraan beratap..jika dibandingkan dengan sepeda motorku. Apalah gunanya jas hujan.. Apalah gunanya payung..
Kenapa hujan begitu menakutkan?
Dengan kata lain, mobil kehilangan fungsinya untuk melindungi pengendara dan barang-barang di dalamnya dari cuaca.
Jas hujan dan payung juga kehilangan fungsinya untuk jadi alat bantu menembus hujan, hanya karena orang-orang takut basah.
Takut basah. Takut keluar. Terlalu banyak ketakutan yang menghalangi kita bersenang-senang.
Waktu untuk pulang dan hujan tak terlalu deras, mau takut apa lagi? Takut baju basah dan make up luntur? Buat apa? Rumah adalah tempat yang hangat yang menerima kita apa adanya. Mau sampai ke rumah dengan acak-acakan, pintu itu akan selalu terbuka. Jika ada orang yang kusayangi menunggu di rumah, buat apa menunda pulang? tidakkah kau khawatir bahwa ia (mereka) di rumah mencemaskanmu? Sepadankah dengan hujan yang tak terlalu deras?
Ah, sudahlah. Belum tentu mereka yang berkendara lebih elit padaku bertujuan pulang. Bisa jadi mau belanja, jalan-jalan, tak punya tujuan, atau tak punya rumah yang hangat. Jangan-jangan pandanganku yang terlalu normatif. Yang seharusnya. Lho, tetapi kan aku melakukannya.
Lebih kasihan lagi jas hujan dan payung. Dibeli tapi belum tentu dipakai. Dicari tapi kehilangan makna intinya.
terpekik kegirangan saat melintasi genangan,
penutup dalam bab perjuangan kali ini,
Cahaya.
Lokasi: Indonesia
Malang, Malang City, East Java, Indonesia
Keakuan
Aku. Aku. Aku.
Dunia hanya untukku.
Kubagi sedikit untuk yang lain.
Agar aku terlihat dermawan.
Aku. Aku. Aku.
Apalah arti kita, jika aku lebih daripada kamu.
Jika kusedih, kau kawan.
Jika bahagia, kau kulupakan.
Aku. Aku. Aku.
Aku adalah prioritas.
Pentingmu tak pantas.
Aku aku. Kamu kamu.
Aku. Aku. Aku.
Pokoknya aku.
Kau mengadu pada Tuhan?
Aku lebih sering menyebutnya dengan fasih, nyaring.
Kau bisa lihat kan?
Tuhan pasti akan berpihak padaku.
Aku. Aku. Aku.
Baiklah..
Semuanya ayo bersorak... Aku. Aku. Aku.
Bahkan dunia punya hak berhenti berputar.
Buat apa terus mengelilingi tata surya,
manusia cuma bisa menyampah.
Tabrakkan saja ke mekurius atau venus.
Karena aku ya aku.
..sebuah ucapan bela sungkawa tentang keakuan yang tinggi.
Langkanya kami, kita, kalian, mereka, dan empati yang memanusiakan manusia.
Dunia hanya untukku.
Kubagi sedikit untuk yang lain.
Agar aku terlihat dermawan.
Aku. Aku. Aku.
Apalah arti kita, jika aku lebih daripada kamu.
Jika kusedih, kau kawan.
Jika bahagia, kau kulupakan.
Aku. Aku. Aku.
Aku adalah prioritas.
Pentingmu tak pantas.
Aku aku. Kamu kamu.
Aku. Aku. Aku.
Pokoknya aku.
Kau mengadu pada Tuhan?
Aku lebih sering menyebutnya dengan fasih, nyaring.
Kau bisa lihat kan?
Tuhan pasti akan berpihak padaku.
Aku. Aku. Aku.
Baiklah..
Semuanya ayo bersorak... Aku. Aku. Aku.
Bahkan dunia punya hak berhenti berputar.
Buat apa terus mengelilingi tata surya,
manusia cuma bisa menyampah.
Tabrakkan saja ke mekurius atau venus.
Karena aku ya aku.
..sebuah ucapan bela sungkawa tentang keakuan yang tinggi.
Langkanya kami, kita, kalian, mereka, dan empati yang memanusiakan manusia.
Label:
Olah Rasa
Lokasi: Indonesia
Malang, Malang City, East Java, Indonesia
Interpretif Kecil Kecilan
Tahun lalu, saat aku penelitian.. dan menyebar kuesioner..
salah satu responden menolakku dengan kata-kata yang menurutku menyakitkan
karena ia tidak paham. Katanya,”Anak UB itu kok banyak ke tempat saya. Coba ke
lain saja.”
Wanita ini adalah
salah satu pengusaha di sebuah kampung di Malang dan tempat usahanya bisa
dibilang lumayan besar apabila dibandingkan tetangganya. Harapanku kala itu
besar sekali untuk mendapatkan responnya. Penolakan adalah hal biasa, asalkan
dilakukan dengan halus. Toh saya tidak maksa. Kata sahabat saya, “Tidak hanya
memberi, menerima juga harus ikhlas.” Yang dimaksud adalah mau diterima maupun
ditolak, kita harus terima, tidak boleh memaksa juga. Nah, dalam kasusku, aku
dengan kemampuan “kemana-mana”ku, menangkap segala pernyataan sombong di semua
jawaban yang dilontarkan wanita pengusaha itu saat aku menjelaskan dengan sopan. Kalau (boleh) saya intisarikan,
dia ingin pengusaha lainnya di kampung itu juga didatangi untuk objek
penelitian. Aku tidak menganalisa tanpa bukti.
Pertama, dua hari berturut-turut aku ke tempat usaha itu dan
berkeliaran di kampung itu, aku sama sekali tidak menemui mahasiswa yang lain,
baik yang se-almamater, maupun beda kampus. Tau kan ya, mahasiswa yang lagi
penelitian, wajib memakai identitas kampus: jas atau jaket almamater. Banyak peneliti ke tempatnya? Yakin nih?
Kedua, pengusaha lain juga sering dijadikan responden, tidak
hanya wanita ini. Pengusaha lain yang dengan tangan terbuka menerima
kedatanganku bahkan tidak pernah menyombongkan “berapa kali dia didatangi
mahasiswa”, tidak sedikitpun keberatan di dalam kata maupun bahasa tubuh. Bukti
di dalam bukti kedua ini aku dapatkan secara tidak sengaja. Saat aku sudah
lulus dan bertemu rekan se-objek penelitian, ternyata memang pengusaha lain yang baik hati
ini adalah salah satu dari dua orang di kampung tersebut yang bersedia menerima
peneliti macam aku, temanku, kami para mahasiswa yang benar-benar penat
di-ping-pong birokrasi penelitian.
Hal yang paling mengecewakanku adalah wanita itu menyebut
Tuhan dalam status whatsappnya, berfoto di Tanah Suci, namun kata-katanya
seolah tak berTuhan.
Mengapa hal lama ini kuungkit lagi?
Bagi seorang melankolis, luka di masa lalu tak sepenuhnya
bisa sembuh. Pengungkitnya bisa hal serupa. Hari ini kualami hal serupa dengan
tema pendidikan.
Singkat cerita, saat mengurus administrasi, aku menerima
calon kuitansi yang salah ketik. Kusebut calon kuitansi, karena belum
kutandatangani dan masih di tangan si mbak admin. Ternyata salah ketik itu
disebabkan salah paham dia mengenai jumlah SPP yang kubayarkan. Ya, kuingatkan
saja soal temuanku.
“Lho mbak ini kok ngerti sih. Padahal kan kuitansinya belum
dikasikan,”katanya.
Maksudku aku menghaluskan istilah kepo sekaligus bercanda. “Haha,
iya nih kan dari akuntansi. Mungkin pas jiwa auditnya lagi kumat,”kataku nyengir.
“Aku aja kuliah ga dapat apa-apa,”tanggapannya. Nada pedih. Aku turut berduka untuk pernyataannya.
Setelah kutandatangani kuitansi dan menghitung ulang
uangnya, kupastikan lagi,”Sudah mbak. Ga ada tanda terima atau apa gitu yang kubawa
kan ya?” Mengingat salah satu Surat Keterangan Lulus-ku dibawa olehnya.
“Kan tadi udah tanda tangan kuitansi. Ya udah..Beres.. Di akuntansi
diajarin kan?” katanya sinis.
Kecewaku tidak berhenti hanya dari ucapan kasarnya. Kalau
kusintesiskan, dia membully dirinya sendiri karena tidak dapat apa-apa semasa
kuliah (akuntansi), lalu jengkel dengan orang yang dia kira dapat ilmu lebih darinya saat
kuliah, yaitu aku. Selain itu, sebelum melayaniku, kudengar dia mengakui
keteledoran yang ia buat terhadap temannya dan menyebut kata “Ya Allah.” Dia
berhijab, bahkan lebih menutupi aurat daripada aku jika dilihat dari lebar
hijabnya. Tapi apa yang ia perbuat padaku, TUHANNYA DIKEMANAIN,MBAK?? minimal
juga kalo ga paham akuntansi, mulutnya harusnya ikut kuliah, tau sopan santun.
Aku percaya wanita berkelas tak selalu dari make up atau parfum mahal, atau tak
bisa dijustifikasi juga melalui hijabnya, tapi penghadiran Tuhan di
kelakuannya.
Refleksinya..
(1) Orang yang sedang "sakit" memiliki kecenderungan menyakiti
orang lain, entah lewat apapun itu.. ucapannya, perilakunya, bahkan di jaman
terelektronisasi, penyakit itu bisa disebarkan lewat dunia maya. Sejatinya, dia bermasalah dengan dirinya sendiri.
(2) Ya, aku marah. Marah itu kulampiaskan lewat tulisan ini.
Balas dendamku berupa pengikisan biji sawi yang tumbuh berupa sifat sombong di
hatiku, dengan berkaca betapa tidak elegannya orang “sok” itu. Jika memang
sedang bermasalah dengan diri sendiri, hendaknya diam, bukan menyeret yang
lainnya ke neraka yang penuh jiwa-jiwa ga tenang dan galau.. Sebelum berbicara,
pikiranku harus lebih panjang dari gelarku.. Setelah menyakiti orang lain, kamu
mungkin bisa minta maaf, tapi bekas lukanya belum tentu bisa hilang.
(3) Manusia berTuhan tidak akan merusak hubunganNya dengan
Penciptanya dan sesama ciptaanNya. Agama bukan hanya simbol. Substansi dan
bentuk harus saling berlomba mengungguli. Substansimu. Bentukmu. Untuk
menghadirkan Tuhanmu. Hijabmu. Akhlakmu. Untuk mendekat pada Allah.
(4)
Anak melankolis harus sering istighfar, latihan putus hubungan emosional
sesingkat mungkin. Anak melankolis yang masih lajang tidak mungkin bersama
dengan mahluk berperilaku celometan dan kasar. Anak melankolis yang masih
lajang dan suka mikir kemana-mana, tidak cocok dengan orang berpikiran kaku,
sempit, dan ke”aku”an tinggi. Kalau belum tau, setidaknya ada sistem eliminasi.
Lho kan, sistem lagi. wkwkwk, ini sih refleksi yang jauh ke depan banget. :D
Salah benarnya anggapanku, biar Tuhan yang menegurku. Mari belajar jadi versi terbaik. :)
Lokasi: Indonesia
Malang, Malang City, East Java, Indonesia