Jakarta butuh kepedulian.
Peduli buang sampah pada tempatnya. Dari instansi sampai
penduduk di pinggir sungai, yang namanya tempat sampah itu “jodoh”nya sampah.
Plis, jangan biarin para sampah selingkuh di sungai, jalan, taman, parit…
Menuntut fasilitas persampahan adalah percuma kalau mulutnya saja yang berkoar,
namun tangan masih sembarangan. Buang sana, buang sini.
“Ah, cuma sedikit.”
Satu bungkus plastik saja. Coba aja dikalikan jumlah
penduduk di Jakarta. Berapa kilogram sampah yang dihasilkan? Berapa meter
pertambahan pendangkalan sungai? Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit
juga berlaku buat sampah, Tuan dan Nyonya…
“Ah, buang sampah sembarang kan urusan saya.”
Tidak, itu urusan seluruh kota, bahkan dunia. Banjir total di Jakarta,
berapa orang yang kehilangan rumah? Berapa urusan negara yang tertunda? Berapa
milyar Rupiah, atau bahkan triliyunan, kerugian yang harus ditanggung oleh
pemilik usaha? Berapa nyawa yang melayang gara-gara tenggelam atau tersengat
listrik? Berapa anak yang menangis kelaparan karena belum dapat bantuan
makanan?
Yap, semua gara-gara tangan Anda, yang buang sampah
sembarangan.
Jakarta butuh kepedulian.
Peduli terhadap sesama. Kesibukan, pagar rumah bak pencakar
langit, apartemen dimana-mana. Tapi kini banyak dari mereka yang hancur oleh
banjir. Mereka “libur”. Saatnya membantu kini. Korban, relawan, sampai pejabat
bersama-sama menggulung celana, berbasah-basahan, mencicip lumpur dan air
hujan. Jabatan dan kekayaan tak berpengaruh banyak. Semua kena, baik dampak
langsung maupun tak langsung. Mungkin dengan bencana, manusia di kota tersibuk
pertama di Indonesia itu dapat bergandengan, memikul beban bersama. Hanya yang
tidak peduli yang bukan manusia.
Mungkin beberapa dari mereka yang tak pernah saling sapa
kini berbincang. Tak pernah bersalaman, kini saling serah terima bantuan. Menyenangkan
jika dipikir dari aspek sosial. Tapi tidak bagi yang kehilangan.
Jakarta butuh kepedulian.
Peduli menyisakan lahan hijau, rumah bagi paru-paru dunia.
Sudah terlalu banyak bangunan megah. Bagai tubuh gagah namun pernafasan tak
normal. Semuanya membangun. Hanya sedikit
yang menanam.
Yang erat kaitannya dengan rumah adalah manusia. Yap,
semakin banyak orang, semakin meningkat kebutuhan akan papan, dan meningkat pula
“penghasil” sampah. Jakarta, kota sejuta urusan. Jakarta butuh kepedulian. Ia
seorang Ibu yang tak mungkin menambah “anak” di rumahnya terus menerus. Jakarta
butuh kesadaran para pendatang, bahwa mereka harus kembali ke daerah
masing-masing jika tak lagi mampu berjuang dan “melayakkan” hidupnya di sana.
Bahwa datang ke Jakarta ada ketidakpastian, antara sukses dan tidak. Jakarta,
kota gemerlap bagi pemimpi, kota rimba bagi pejuang.
Mereka yang mengeluh banjir, macet dan segala keruwetan.
Kadang tidak menyadari itu buah perbuatannya sendiri.
Jakarta…
Harusnya aku mencintai ibu kota negaraku, kamu… Tapi, terasa
biasa saja. Kamu bermasalah. Banyak masalah. Aku cuma bisa begini.
Aku memang belum mencintaimu kini, tapi akan tetap peduli. J
0 komentar:
Posting Komentar