
{ { {
Beberapa jam yang lalu, pagi-pagi sekali, Vika sudah berbenah, bersiap-siap berangkat ke gelanggang olahraga. Ia mengikuti kegiatan ekstrakurikuler renang. Belum sempat Vika menyimpul tali sepatunya, salah seorang temannya lewat. Vika melongo.
Temannya yang memakai celana jeans, t-shirt putih, dan sandal jepit itu menyapa, “Hai, Vika! Sibuk amat! Ke rumahku yuk!”
Sambil memasang tampang kecut, Vika membalas, “Kamu ngigau ya? Tiga puluh menit lagi kita kan mau berenang!”
Temannya tertawa terbahak-bahak. Lima menit kemudian semua mejadi jelas.
”Kemarin, waktu kamu latihan karnaval, ada pengumuman bahwa kegiatan renang diliburkan. Maaf ya, aku telat ngasih tau kamu,” kata teman Vika.
Setelah temannya pulang, Vika segera mengangkat telepon, menekan nomor-nomor yang ia hapal luar kepala, yaitu nomor telepon Linggar. Sebelum ia diberi tahu temannya bahwa kegiatan berenang libur, Vika membuat janji dengan Linggar. Buku Vika belum dikembalikan oleh Linggar selama kurang lebih seminggu. Dan besok, buku itu akan dipakai Vika untuk mengerjakan tugas. Linggar ingin menemui Vika seusai berenang.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang di tepon, ”Halo?”
“Hai, Linggar. Aku Vika.”
“Oh, ada apa?”
“Kegiatan berenang libur. Apa aku bisa ngambil bukuku lebih awal? Kalo nggak salah alamatmu di jalan Manggis kan?”
“Wah, lebih baik kamu nggak usah ke rumahku aja deh! Aku aja yang ke rumahmu. Tapi masalahnya, aku nggak tau rumahmu. Rumahmu sebelah mananya stadion sih?”
“Duh, susah juga njelasinnya. Gini aja, kita ketemuan di sekolah. Gimana?”
“Oke.”
“Jam berapa?”
“Terserah kamu aja!”
“Gimana kalo jam 09.00?”
“Jangan! Lebih baik jam 09.30.”
“Oke, aku setuju.”

Sambil bernyanyi-nyanyi riang, Vika memilih baju di kamarnya. Vika baru setengah tahun duduk di bangku SMA. Dan baru setengah tahun pulalah ia berkenalan dengan Linggar. Meskipun begitu, terbesit sedikit rasa suka di hati Vika. Apalagi mereka duduk dalam satu kelas dan setiap hari bertatap muka. Sikap sok akrab Linggarlah yang membuat hati Vika kadang-kadang berdebar tak karuan. Padahal seringkali Vika melihat Linggar sok akrab dengan cewek-cewek lain di sekolahnya, yang jauh lebih cantik daripada Vika.

TO. VIKA. SORY, MUNGKIN AKU GA BISA DATANG TEPAT WAKTU. AKU MASIH HARUS NGANTAR SI TIO PULANG. DAN, KAMU TAU SENDIRI KAN KALO RUMAH TIO JAUH BANGET. NANTI, KALO AKU UDAH SAMPAI DI DEPAN SKUL AKU KABARI DEH. SORY!
Sekali itu amarah Vika dapat ditahan. Sesudah itu, Vika terduduk diam. Tepat satu jam kemudian, tangan Vika sudah gatal ingin mengetahui kabar si Linggar. Dengan kecepatan super, ia mengetik sms dan mengirimkannya.
LINGGAR, KAMU DI MANA SIH?
Tidak ada balasan. Vika mencoba menghubungi Linggar. Satu kali. Tak ada balasan. Dua kali. Masih belum ada balasan. Sampai akhirnya setelah mencoba untuk yang keenam kalinya, Linggar baru membalas sms Vika.
YA, NTAR …30 MENIT LAGI, OK?

Setelah lama berjalan, Vika akhirnya sampai di depan sekolahnya. Ia mellihat jam tangannya. Ia terlambat lima belas menit dari perjanjiannya dengan Linggar.
{ { {

Akhirnya, apa yang diantikan Vika tampak dari kejauhan. Linggar dengan tenang mengendarai sepeda motor birunya. Ia mengerem mendadak di depan hidung Vika.
“Halo, Vika! Udah lama nunggu, ya?” katanya tenang.
Vika diam saja sambil menatap tajam pada Linggar.
“Bukan salahku, sih. Si Tio itu lho, dasar…udah capek-capek aku antar…eh, ia malah ngajak aku main PS,” kata Linggar sambil memasang tampang sok imutnya, seperti yang ia tampakkan selama 6 bulan ini di depan Vika.
Vika sudah tak tahan lagi.
“Wah, baguslah kamu masih hidup…. Aku kira tadi kamu udah masuk UGD karena kecelakaan sejak 1,5 jam yang lalu. Kenapa sih kamu capek-capek ke sini buat ngembaliin bukuku. Di sana aja, di rumah Tio. Kamu bisa main PS sepuasnya atau… pacaran aja sama Tio. Serasi tuh kayaknya!” damprat Vika panjang lebar.
“Ya terserah apa katamu. Aku minta maaf deh, Vik!” kata Linggar sambil memelas.
“Maaf aja ya! Aku udah bosan ndengerin kata maaf, maaf, dan maaf. Selama ini kamu aku maklumi, karena…karena…karena…aku suka kamu. Tapi semenjak tadi pagi semua berubah. AKU BENCI KAMU!!! Kamu udah cukup ngrepoti aku. Dasar laki-laki nggak punya tanggung jawab. Mungkin, cewek yang mau jadi istrimu bisa mati mati sengsara gara-gara sifatmu!” kata Vika sambil memasukkan buku catatannya ke dalam tas.
Setelah itu, Linggar ia tinggalkan sendiri dengan mulut ternganga.
{ { {

Suatu malam saat Vika mulai terlelap, tiba-tiba hp-nya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Sambil setengah terpejam dan tenaga yang tersisa lima watt, ia membaca sms itu. Ternyata, sms itu dari Linggar.
MET MALEM, VIK! LAGI NGAPAIN? UDAH TIDUR,YA?
“Puih, ngapain juga anak ini sms aku. Dasar! Memangnya kalo aku nggak lagi tidur, terus lagi ngapain? Memangnya aku lagi ronda?! Anak kurang kerjaan, ngabisin pulsa aja. Mana ganggu orang tidur! Bisa lihat jam apa nggak sih?!!” damprat Vika dalam hati.
Lalu, dimatikannya hp itu, tanpa membalas sms Linggar.
Begitulah yang terjadi antara Vika dan Linggar. Vika tidak pernah lagi menghubungi bahkan membalas sms Linggar. Saat di sekolah, Vika berpuasa bicara dengan Linggar. Di lain pihak, Linggar tak berputus asa. Dia menyelidiki apa saja yang berhubungan dengan Vika, hingga pada akhirnya ia menemukan gagasan cemerlang.
Suatu pagi di sekolah, Linggar sudah mempersiapkan segala peralatan untuk memanjat wall climbing di sekolah. Selain peralatan memanjat, ia membawa megaphone di pinggangnya. Setelah bel istirahat berbunyi, Linggar mulai memanjat dan ketika ia mencapai puncak wall climbing, ia berteriak-teriak memakai megaphone.
“Vika, aku pingin bilang sesuatu!!! Vik, sebenernya selama ini aku nyembunyiin sesuatu dari kamu!” teriaknya lantang.

“Vika, aku cuma pingin bilang kalo AKU CINTA KAMU!!!”
Vika terkejut.
“Vik, aku tau dulu kamu suka ama aku, makanya….”
Kini Vika bertambah terkejut. Wajah Vika memerah karena malu.
“Tapi, sekarang aku benci kamu!” kata Vika menyanggah.
“Aku minta maaf! Aku menyesal. Aku mohon terima cintaku. Kalo kamu tetap benci ama aku, lebih baik aku lompat dari sini!”
“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak peduli!!” bentak Vika.
Suasana di sekitar menjadi semakin ramai. Vika malas melanjutkan perdebatannya dengan Linggar dan beranjak meninggalkan lapangan. Ketika melihat itu, Linggar menyerah, dan saatnya melaksanakan rencana kedua. Linggar menuruni wall climbing, pura-pura terpeleset, melepaskan tali pengaman, dan berteriak. Lalu ia terjatuh dan berakting tak sadarkan diri. Semua orang di lapangan yang menyaksikan ikut berteriak.
Vika yang mendengar jeritan Linggar, secara spontan menoleh dan langsung berlari menuju tubuh Linggar yang tergeletak di tanah.
“Gar, Linggar, kamu kenapa? Iya, aku maafin kamu… Sadar dong, Gar!” kata Vika denagan wajah pucat pasi.
Masih belum ada reaksi apa-apa.
Vika mengulangi perkataannya lagi, “Linggar, aku bener-bener udah maafin kamu.”
“Bener nih, kamu maafin aku?” kata Linggar sambil membuka sebelah mata dan tersenyum.
“Kurang ajar! Jadi ini cuma sandiwara? Kamu mempermainkan aku, ya?!!” , wajah Vika yang pucat pasi telah berubah menjadi merah padam, “ Kamu ingin mempermalukan aku di depan semua orang, kan!!!”
Vika semakin marah dan kepala Linggar yang semula ia letakkan di pangkuannya, ia jatuhkan ke tanah. Linggar mengaduh dan segera bangkit untuk mengejar Vika.
“Nggak, Vik…aku nggak bermaksud seperti itu!” katanya sambil menarik lengan Vika.
“Lepasin! Aku kan sudah memberi kamu jawaban. Mana bisa aku cinta ama kamu, kalo perasaanku dipenuhi kebencian tentang kamu!”
Vika menyentakkan tangannya, lalu berlari menuju kelasnya. Pada malam harinya, Vika tidur dengan bantal yang basah.
{ { {
Tiba-tiba Vika terbangun oleh sebuah sentakan di bahunya. Rasanya sudah sewindu ia tertidur.
“Dokter… dokter… tolong kami…!!!” terdengar suara seseorang yang gugup.
Dengan setengah terkejut, Vika melompat bangun dari kursi jaga. “Ada apa, sus?”, tanyanya dengan mata setengah terpejam.
“Ada seorang polisi yang terluka…”
“Kenapa dia?” tanya Vika sambil menyambar stetoskop dan berlari ke ruang gawat darurat.
“Tertembak ketika akan menangkap perampok”, kata orang itu.
Vika mempercepat langkahnya, tetapi tak lama kemudian dia segera berhenti ketika melihat wajah korban itu. Dia merasa sudah akrab dengan wajah itu, bahkan di balik lumuran darah dan seragam penegak keamanan. Matanya terbelalak.
Ditunjuknya pasien itu,”Siapa namanya?”

Seperti disengat lebah, Vika menjerit lalu segera diperiksanya denyut nadi orang itu dan luka di tubuhnya. Tak terasa air matanya meleleh.
“Dokter, anda kenapa? Dokter mengenalnya? Dokter….”
Vika tak mempedulikan kata-kata orang di sekelilingnya. “Ini dia… ini Linggar….”,katanya setengah berbisik. Dia tetap memeriksa dan mencoba membuatnya sadar.
Kata-kata seorang suster menyadarkan Vika, ”Dokter, dengarkan dulu… dia hanya tak sadarkan diri. Kami sudah memeriksanya, hanya ada luka serempet peluru, memar, dan luka lecet.”
Vika menghentikan kesibukannya sejenak dan mencoba mencerna kata-kata perawat itu.
“Lalu darah siapa ini?” ia menunjuk wajah dan baju Linggar.
“Darah rekannya yang tewas tertembak.”
Setelah beberapa detik, Vika tersadar, sedangkan para perawat telah mengangkut polisi itu keluar dari UGD menuju ruang perawatan. Segera disongsongnya mereka.

Setelah menyelesaikan pengobatan Linggar, Vika membalut lukanya, dan membawanya ke ruang pasien. Saat itu malam telah larut dan badannya terasa lelah.
Tanpa ia sadari, dia tertidur di samping Linggar sambil menggenggam tangannya. Entah berapa lama, tetapi yang jelas, saat dia terbangun, dia merasa hangat berbaring di atas sofa dan selimut yang menutupi badannya.
“Sofa? Selimut? Lho, bukannya tadi…”,tanya Vika dalam hati.
Pandangannya merayap ke arah tempat tidur pasien. Linggar lenyap. Ia mengalihkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Tetap, tak ada siapa-siapa.
“Dimana dia?”
Vika segera bangkit dari sofa dan memanggil Linggar. Dia beranjak ke luar kamar dan menengok ke kanan-kiri. Di luar tampak lengang. Tiba-tiba dari belakang terdengar langkah terseok-seok. Dialihkannya pehatiannya.
Polisi itu berjalan dengan menyeret satu kaki,” Maaf ya, tapi pahlawan kayak aku juga butuh pergi ke toilet! Ngomong-ngomong, sudah lama tidak…”
Vika segera berlari dan menubruknya. Tak disangka, Vika memeluknya erat-erat. Erat sekali… sampai Vika dapat merasakan setiap tarikan napasnya.
Tiba-tiba Linggar berkata,”Aduh… rasanya nafasku sesak, Dok!”
Vika tersadar dan segera melepaskan pelukannya.
Setengah malu Vika membantah,”Maaf ya, tadi aku cuma cemas. Lagi pula aku nggak mau dimarahi pacarmu.”
“Siapa pacaran ama siapa sih?”, bantah Linggar, “Seharusnya aku yang takut ama cowokmu. Ntar aku bisa masuk UGD lagi.”
“Ye, siapa yang punya pacar. Aku kan jomblo kualitas tinggi gitu loh!” balas Vika.
Tiba-tiba mereka terdiam sesaat.
“Kenapa jadi membahas hal begituan sih?” hati Vika bertanya. Dia merasa gugup, lalu dibalikkan badannya, hendak keluar.

Vika kaget, ”Kamu yang seharusnya istirahat. Lagipula tahu darimana kalau badanku….”
“Ssst, jangan cerewet! Tidur aja di tempat tidurku. Kalo kamu sakit, gimana pasien yang lain?”
“Jadi,….”
“Aku yang memindah kamu ke sofa. Aku rasa badanmu makin panas waktu kamu memeluk aku tadi.”
“Tapi, Gar….”
“Ssshhh! Tidur aja deh!! Aku ga apa-apa kok. Makasih banyak, ya?!”
“Kalo boleh aku tanya, kenapa kamu perhatian ama aku? Bukannya dulu kamu suka membuat aku marah dan menderita?”, tanyaku memaksa.
Mata Linggar yang tajam menatap Vika lekat-lekat, tetapi dia tak berani membalasnya, hingga Vika menunduk,”Gila, wajahnya masih seperti yang dulu dan aku berdebar-debar. Ayo, dong… jangan salah tingkah kayak gini!”
Linggar berusaha menahan napas. Lalu tangannya yang hangat menyentuh wajah Vika dan mendongakkan kepala Vika kearahnya. Ketika tatapan mereka bertemu, ia berkata, ”Karena itulah aku menyuruhmu beristirahat, karena aku nggak mau kehilangan cewek yang aku sayangi. Yang dulunya aku biarkan terluka. Dan sekarang, aku mau mendampingi cewekku, terutama ketika dia lagi sakit.”
{ { {
Satu tahun kemudian…
Vika masih terbaring lemah di atas tempat tidur di rumah sakit. Linggar masih berada di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Vika merasakan kehangatan dan hatinya tenang sekali. Melihat Vika tersadar, Linggar segera mengecup kening Vika.

Vika tersenyum dan berkata,”Aku selalu sayang kamu, Gar! Bahkan sejak lama, sebelum kamu tahu.”
Dan cinta yang tertunda antara dua insan itupun berakhir bahagia.
3 komentar:
Sebenernya ini tugas SMA kelas 3 pas disuruh bikin cerpen BI... Daripada disimpen doank, mending diposting aja.. enjoy...
heerrr pnglaman pribadi....
sek iki tes komen aq :D
ada beberapa scene yang diambil dari pengalaman pribadi, tapi secara keseluruhan itu fiktif belaka..
ojo mikir sing macem2 koen yo... :D
apik nggak, mel? dulu sih kepilih jadi yg dibacain di depan kelas, tapi kurang begitu tau pendapatnya yg ndengerin..
Posting Komentar