Kamis, 28 November 2013

Dokter dan Pasien

Postingan ini dibuat karena opini dan ceritaku ngga bakal cukup kalo dituangkan di twitter. Kalo terpenggal-penggal ntar takutnya menimbulkan salah paham. :)

Oke. Seperti yang kita tau, kemarin dokter menunjukkan solidaritasnya terhadap rekan seprofesi yang dituduh malpraktek trus divonis bersalah dan dihukum 10 bulan.
Yang profesinya atau keluarganya dokter dan tenaga medis lainnya kemungkinan besar bakal mendukung dr Ayu. Ditambah mahasiswa kedokteran, ding.
Yang di MA? Ngevonis aja, abis itu urusan slese.

Repotnya, aksi para dokter kemarin banyak menelantarkan pasien. Pasiennya kecewa. Karena pasien juga bagian dari masyarakat dan punya keluarga, jadilah pada membenci dokter.

Perseteruan bergeser ke dokter vs pasien.
Dari spesialis kandungan jadi meluas kemana-mana.
Diperparah lagi, ada beberapa orang yang malah menunjukkan egonya dengan ngomong, "Aku dokter. Kalo aku mogok sehari, liat siapa yang butuh sekarang?"
Seandainya dia dokter beneran, kok ngga menghargai nyawa manusia gitu sih. Coba kalo keluarganya yang sakit kemarin dan ngga dapat pertolongan medis, apa ya masih bisa bilang gitu? Sombong sekali dia.

Pihak pasien juga ada yang ngga mau kalah, "Dokter itu butuh pasien. Harusnya kerja yang bener, serius. Ada beberapa kejadian begini... begitu...."
Iya. Mungkin dia pernah trauma sama dunia medis. Atau mungkin tujuannya pengen menunjukkan kalo dokter dan pasien itu simbiosis mutualisme. Ngga cuma pasien yang butuh dokter, tapi profesi dokter ngga bakal ada kalo orang sakitnya ngga ada. Ayolah, kita saling membutuhkan. Itu ngga bisa diperdebatkan siapa yang lebih butuh siapa. Pasien (harusnya) berterima kasih sama dokter karena udah bantuin nyembuhin penyakit. Dokter (harusnya) berterima kasih sama pasien karena berkat pasien, mereka bisa mengamalkan ilmunya. Ini di luar topik duit yaa.. :)


Menanggapi aksi kemarin, aku diceritain sesuatu sama ortu.
Dulu kakak pernah demam semaleman pas balita. Udah dikompres seharian, tapi tetap aja ngga turun-turun. Pas dibawa ke sebuah rumah sakit, dokter yang jaga di sana setengah mbentak ke ortu, "Ibu diam dulu. Urus administrasinya dulu, baru saya tangani!"
Kakakku udah semacam kejang, tetap aja dibiarin. Orang tua mana yang ngga heboh liat anaknya begitu?
Untung ada dokter baik hati yang lebih senior kebetulan datang,"Siapa yang membiarkan anak ini?"
"Tadi sama dokter X, disuruh ngurus administrasi dulu, dok."
"Administrasi??? Bawa ke UGD! Nyawa lebih penting!"


Kesimpulan?

Kalo satu orang dari profesi tertentu sikapnya kurang tepat, ngga semuanya dari profesi itu bersikap sama. Majas pars pro toto (sebagian untuk seluruh) harusnya ngga bisa diterapkan ke kehidupan nyata. Lagian, yang dibenci kan sikapnya, bukan orangnya atau profesinya.
Menurutku sih gitu. :)


Aku pernah sakit gigi. Karena ngga cocok sama dokter gigi yang dulu, jadilah nyari keliling kota. Sebenernya waktu itu nyari yang antrinya ngga panjang sih. Udah malem soalnya. Hehe. Isenglah mampir ke praktek bersama. Setelah periksa dan membersihkan gigiku, pak dokter bilang aku kudu dibedah/ operasi kecil di gusi. Otomatis kaget," Kapan dibedah? Sekarang?"
"Ya ke rumah sakit aja. Saya ngga punya alat bedahnya."
"Loh saya pernah ditambal dulu beberapa kali, sebelum dokter yang dulu memutuskan cabut geraham. Kenapa yang ini langsung operasi?"
"Meskipun gerahamnya mbak masih utuh, tapi strukturnya miring. Susah dibersihkan, ntar busuknya takut nular ke gigi depannya. Percuma kan kalo ditambal, buang-buang waktu. Langsung cabut aja."
Aku pengen menunda operasi, dokternya mendesak demi kebaikanku sendiri.
Tau ngga sih, pas nanya aku bayar berapa buat periksa dan analisa tepat sasaran yang barusan, dokternya bilang, "Ngga usah, mbak. Ngga papa. Besok ke rumah sakit yaa.."

Astaga! Baiknyaa... Pas keluar dari kamar praktek, tampangku melongo aja.
"Berarti dokter yang dulu???" #terjenjeng


Aku sih sebagai pasien dan keluarga dokter sekaligus, cuma mau bilang,
"Yang merasa dibutuhkan, jangan sombong. Yang merasa membutuhkan, jangan ngambekan ah~" ^^V

0 komentar:

Posting Komentar