“Mbak, jangan menikah!”
“Wah, komentarnya beda nich!” kataku dalam hati. Saking
semangatnya, pengucapan “nich” sampai terbawa sebagaimana mestinya.
N-I-C-H.
Bukan NIH.
---------------------------
Aku mengintip smartwatch yang menunjukkan debaran jantungku meningkat seiring dekatnya jarum panjang ke angka 12 dan jarum pendek di angka 8. Aduh, kesiangan, pasti antrian loket RS sudah mengular.
Tapi hari ini aku mencoba mindfulness. Ah, meskipun telat,
aku berusaha beres dengan diriku sendiri. Aku sudah sarapan dengan layak, sudah
mandi dengan tenang dan dandan cantik sekali. Aku melirik outfit yang tidak
biasa kukenakan ke RS, jeans biru, kemeja putih, jilbab abu tua, wedges pink,
dan tas merah menyala. Biasanya, aku hanya mengenakan celana kain, kemeja
tabrak warna, sandal jepit, seperti pasien pada umumnya, yang penting antri.
Ternyata antrian di loket sidik jari tak serepot biasanya,
alatnya mau bekerja sama denganku untuk mengenali jempol kananku dengan sekali
sentuh. Alat cetak Surat Eligibilitas Pasien juga sempat ngambek sekali,
selebihnya dia mau memuntahkan kertas putih bertuliskan identitasku.
Kusapa perawat yang juga langsung mengenaliku dan dengan
seloroh seperti biasa,”Keluar dulu, masih luamaaa.”
Aku dengan riang menjawab,”Okeee..” sambil melirik isi
tasku. Buku bacaan dan sebotol penuh air mineral yang penting ada bersamaku,
tak masalah menunggu lama.
Menuju ruang tunggu aku kebingungan, melihat ternyata tak
ada kursi yang tersisa. Bahkan keluarga pasien rela duduk di petak-petak ubin
yang tersisa di antara kursi-kursi dan tembok. Bagaimana dengan pasien? Mereka
di atas kursi roda dan tempat tidur yang berderet rapi memblokade jalan lalu lalang,
sudah seperti kendaraan macet saat arus mudik. Di antara bingungku, ternyata
ada satu keluarga pasien yang dipanggil, beranjak meninggalkan satu kursi
kosong.
Aku dengan cepat menujunya dan minta izin orang di
sebelahnya,”Kosong? Boleh saya duduk di sini?”
Si Ibu mengangguk dan mengamatiku dari atas ke bawah. Daftar
FAQ otomatis menyala di otakku, sambil menunggu komentar atau pertanyaan apa
yang akan diberikan.
Ternyata si Ibu hanya senyum, tapi senyumnya pahit.
Karena kusadari kita adalah mahluk hidup yang tidak mungkin
diam saja berjam-jam, kuputuskan bertanya duluan,”Ibu ke poli apa?”
Kamipun saling bercerita poli dan dokter yang menangani.
Kudapati si Ibu adalah kaum mendang-mending. Dia selalu menilai dirinya orang
tidak beruntung sedunia karena sakitnya sudah parah. Yaaa, sebenernya aku juga
sih, cuma tembok yang kubangun tinggi sekali sehingga orang-orang melihatku
sebagai orang yang selalu sehat dan ceria.
Tidak lama, ternyata si Ibu dipanggil masuk poli. Tapi hanya
sebentar, dia keluar dan kali ini berdiri di sampingku karena kursi penuh. Dia
menjelaskan bahwa dia tidak mau mendengar komentar dokter kalau sakitnya memburuk,
hanya ingin tau penanganan lebih lanjut saja, jadi dokter di sini sedang konsultasi
lebih lanjut dengan dokter di Surabaya. Lalu dia menggumam,”Saya sendirian,
saya ditinggalkan suami ketika saya sakit,….. mbak masih mending..”
Oke, cukup.
Aku mencoba melakukan smiling eyes karena tidak mau membuka
masker saat itu, lalu menyahut,”Saya juga sendirian, ke sini tidak ada yang
menemani, orang tua saya meninggal, saudara tidak ada di sini, sayapun operasi
dengan membayar penunggu-rewang, dan saya masih single.”
Saat bersamaan kursi di sebelahku kosong, si Ibu bergegas duduk
dan tiba-tiba bilang,”Mbak, jangan menikah!”
Aku diam saja mendengarkan. Biasanya orang di sekitarku sibuk
menjodohkan atau sekadar menjadi pengingat berjalan kalau sudah waktunya
menikah. Kok, ini beda. Hahaha.
“Menikah itu menyakitkan. Padahal saya sudah hijrah,
meninggalkan hobi lama saya (penata rias), saya umrah dan ikut kajian. Pada
akhirnya ketika saya sakit, saya tidak dipedulikan..”
…….
“Dulu saya cantik dan terawat, mbak.. Nggak kayak gini…”
Yang terjadi selanjutnya, dia menunjukkan foto suaminya, kenangannya
saat umrah sebagai kado pernikahan, momen saat dia kajian, saat dulu aktif
bersama teman sesama penata rias, dan terakhir foto beberapa mukena putih
bersimbah darah.
Air mata yang tadi ditahan akhirnya berubah jadi tangisan
deras di keramaian. Dia merasa sendiri dan ditinggalkan. Ketika disakiti, luka bekas operasinya
akan mengeluarkan banyak darah. Lucunya, orang-orang yang duduk di sekitar kami
sepertinya ikut mendengarkan, mencuri pandang, dan mencodongkan badan mendekat.
Apakah ini yang dinamakan ketika dunia tau deritamu, tak semua mau memelukmu?
Mereka cuma ingin memuaskan rasa ingin tau mereka.
“Suamiku NPD, mbak.. dia menyebarkan fitnah dan tidak ada
satupun dari saya yang ia percayai. Darah tadi dituduh obat merah.”
Satu-satunya barang yang kuambil dari tasku saat itu cuma
tisu untuk meredakan badai.
Dia lanjut bercerita mengenai terapi-terapi kesehatan sambil
memperlihatkan luka bekas operasi di pelipis. Aku hanya menanggapi sesekali,”Wah
saya bahkan tidak memperhatikan luka bekas operasi itu..saya fokus cerita Ibu.”
“Saya berani bercerita ini karena mbak tidak kenal saya,
jadi tidak perlu mengulik-ngulik kehidupan saya, cukup dengarkan dan ambil
hikmahnya.. mungkin setelah ini kita tidak ketemu lagi, saya dikenang sebagai perempuan
yang berusaha kuat ketika sakit saja sudah cukup.”
Ketika ia puas bercerita, kini giliranku yang bercerita.
Sebelumnya aku klarifikasi bahwa ucapanku tidak untuk membandingkan
penderitaan, ini hanya sharing.
“Ya betul, Ibu.. Mending tidak usah menikah. Betul. Tidak
usah menikah kalau belum bersahabat,” kata-kataku menarik perhatian si Ibu. “Tidak
usah menikah kalau hanya kenal dari sosial media atau kenal biasa. Jalinlah
persahabatan dulu, dengan demikian sifat baik dan buruk kedua belah pihak sudah
sama-sama tau. Tidak usah menikah kalau hanya dituntut karena dinilai sudah
terlalu tua, karena judgement orang lain, karena tuntutan orang tua atau
lingkungan sosial, atau hanya ingin punya anak.”
“Nah, betul jangan dengarkan kata orang,” kata si Ibu
bersemangat.
“Saya juga melalui beberapa tahap hidup dimana tujuan saya
berubah seiring berjalannya waktu. Yang saya katakan tadi hasil perenungan saya
terakhir, selepas saya sakit. Saya hanya ingin bersahabat sekarang, selama
tidak terlalu mengenal seseorang, saya tidak mau melangkah lebih lanjut. Selama
si pria tidak ada inisiatif, saya menilai dia tidak bisa memimpin keluarga.”
“Perempuan hanya ingin dibahagiakan oleh laki-laki,” gumam
si Ibu sambil kembali flashback.
“Ya, tapi sebenarnya saling ya bu.. saya bisa bilang begini
karena kedua orang tua yang memberi contoh. Mereka sampai akhir hayat, memberi
contoh saya persahabatan yang terikat komitmen pernikahan. Mereka masih bisa
adu argumen, tapi masih bisa saling memaafkan. Mereka melakukan apa yang mereka
suka, tapi dengan jujur dan saling mengerti. Di kala hidup ada naik turunnya,
mereka tetap kompak.”
“Hmm, iya sih.. sekarang lagi marak taaruf…tapi nggak kenal
sepenuhnya pasangannya gimana..”
“Oh, saya memang tidak pacaran, tapi juga tidak setuju kalau
kita menikah dengan orang yang tidak kita kenal. Makanya saya bilang sebaiknya
bersahabat dulu..”
……
“Bu, kalau boleh saya sarankan.. Ibu bilang tadi Ibu sudah mau
mengurus cerai dan pindah keluar rumah suami?”
“Ya, ini sudah kontak pengacara..,” diapun memperlihatkan
beberapa lemari besar yang dimuat ke atas pick up, disusul dengan
chatnya dengan seseorang yang ia panggil pengacara.
“Nah, kalau misalnya Ibu melakukan apa yang Ibu suka lagi?
Entah menata rambut atau sekedar MUA bagaimana? Lakukan yang jadi hobi Ibu,
mungkin Ibu bisa sembuh dan pulih kembali karena bahagia..”
“Tapi saya sudah hijrah…”
“Memangnya kalau hijrah pakai jilbab dan umroh, tidak boleh
menata rambut orang lain?”
…….
“Yang kedua, masalah NPD ya bu.. tadi Ibu menyebut suami Ibu
NPD. Sayapun mengalami kejadian tidak menyenangkan dengan NPD. Sudah bu, jangan
bereaksi.. Lepaskan ikatan Ibu dan jangan memberi reaksi apapun.. Memang sulit,
tapi saya juga belajar untuk tidak memberi panggung maupun diseret ke panggung
mereka.”
“Oh gitu ya mbak?”
“Tipsnya begitu bu.. Mereka yang percaya dengan cerita bohong
itu, biarkan.. artinya ya memang mereka ini bukan teman yang baik. Anggap saja
eliminasi..”
“Suami begitu karena masih sakit hati dengan masa lalu, jadi
curiganya terbawa sampai sekarang..”
“Yang belum sembuh biarkan saja.. yang penting kita sembuh
agar tidak merugikan orang lain..”
Kususul dengan beberapa tips kesehatan yang kutau dari
membaca, konsultasi, dan eksperimen. Si Ibu mendengarkan dan bertanya balik
untuk hal asing, setidaknya kali ini isak tangisnya sudah mereda. Sampai
akhirnya, namaku dipanggil masuk ruang periksa.
Kulirik smartwatch-ku. Pukul 10.00.
Setelah pamit, bergegas kumasuki poli dengan pandangan kepo.
Wow, dokter subspesialisku sudah ada! Semua dokter yang kukenal, kusapa.. dan
mereka bercanda di depanku.
“Datang 6 bulan lagi ya..” kata dokterku mengakhiri rutinitas hari itu.
Biasanya kalau antrian dimulai pukul 07.00, antrian periksa
selesai di pukul 14.00. Ini 2 jam saja dan penuh makna. Kulirik buku yang belum
sempat kubaca dan air mineral yang utuh di tasku, unpredictable!
……………..
Ada orang yang hanya ingin didengarkan untuk mencari obat.
Ada orang yang memandang pernikahan sebagai tahapan yang
harus dilalui, padahal itu pilihan. Kalau ada yang cocok, kalau ada yang paham,
kalau….ah, isi sendiri ya.. :)
Ada orang yang menderita karena framing orang lain dan
berusaha waras setiap hari bersinggungan dengan NPD.
Orang boleh sakit, tapi harus berusaha sembuh. Orang tidak
move on dari rasa sakitnya cenderung menyakiti orang lain, disadari atau tidak.
Temukan alasan untuk sembuh, temukan pula pendukungmu untuk bergerak kembali,
sekecil apapun itu.
Pada kenyataannya, otot dan otak memiliki memori untuk mengingat sensasi. Sakit fisik dan hati punya kedudukan yang sama.
Dengan memutus hubungan dari orang yg menyakitkan, sama juga
memutus rantai penyakit.